CAECILIA

CAECILIA * LUCIA * UTAMI * JOHANNES

Kamis, 06 Januari 2011

KOMITMEN ORGANISASI DAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI MEDIASI HUBUNGAN PROFESIONALISME DENGAN INTENSI KELUAR (STUDI EMPIRIS PADA INTERNAL AUDITOR PERUSAHAAN)

2.1 Konsep Profesionalisme
Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi internal auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Hall (1968) menjelaskan bahwa ada hubungan timbal balik antara sikap dan perilaku, yaitu perilaku profesionalisme adalah refleksi dari sikap profesionalisme dan demikian sebaliknya. Konsep profesionalisme Hall banyak digunakan oleh para diantaranya Morrow dan Goetz (1988) menguji profesionalisme para akuntan publik, Goetz, Morrow dan Me Elroy (1991) untuk mengukur profesionalisme para akuntan publik yang ditambah dengan variabel yang dikembangkan, serta Kalbers dan Fogarty (1995) yang menggunakan pandangan profesionalisme yang lebih kompleks daripada ketiga tersebut. an tersebut menunjukkan bukti empiris hubungan variabel antesenden (pengalaman) internal auditor dengan profesionalisme, juga dengan variabel konsekuensiya. Sedangkan di Indonesia an Kalbers dan Fogarty di replikasi oleh Winowo (1996) dan Rahmawati (1997), Sumardi (2001). Serta Yohanes Sri Guntur (2001) yang mengunakan sampel internal auditor dengan menggunakan instrumen profesionalisme di lingkungan internal auditor perusahaan manufaktur, dari Hall (1968).

Lima konsep profesionalisme dari Hall (1968) adalah sebagai berikut :
Afiliasi komunitas (community affiliation) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. Malalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi.
Kebutuhan untuk mandiri (Autonomy demand) merupakan suatu pandangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut karyawan yang bersangkutan dalam situasi khusus. Dalam pekerjaan yang terstruktur dan dikendalikan oleh manajemen secara ketat, akan sulit menciptakan tugas yang menimbulkan rasa kemandirian dalam tugas.
Keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bawah yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan “orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
Dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap
pekerjaan. Pekerjaan didefiniskan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan ari pekerjaan adalah kepuasan rohani dan setelah itu baru materi.
Kewajiban sosial (social obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

2.2.Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) dan Profesionalisme
Kepuasan kerja merupakan seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidak pekerjaan mereka, atau suatu perasaan pegawai atau tidak senang yang relatif berbeda dari pemikiran obyektif dan keinginan perilaku (Davis et.al, 1985).
Alasan utama mempelajari kepuasan kerja adalah untuk menyediakan gagasan bagi para manajer tentang cara meningkatkan sikap karyawan. Seseorang yang tidak punya kemampuan mengaktualisasikan secara profesional menjadi tindakan puas dalam bekerja (Sorensen dan Sorensen, 1974), Studi yang dilakukan Norris dan Nieburh (1984) mengharapkan adanya hubungan positif antara profesionalisme dengan kepuasan kerja, studi ini dilakukan pada 62 akuntan publik di kantor akuntan publik the big eight di Amerika. Simpulan studi ini konsisten profesional afiliasi komunitas sedangkan empat dimensi lainnya tidak mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja. Sedangkan an Sehrueder dan Indieke (1977) menunjukkan hubungan yang negatif antara profesionalisme dengan kepuasan kerja, an tersebut dilakukan pada 72 akuntan publik pada 16 perusahaan di Amerika. Begitu juga Sorensen (1967) menyimpulkan bahwa orientasi profesionalisme berhubungan negatif dengan kepuasan kerja.
Sebagai bentuk perilaku, komitmen organisasi dapat dibedakan kepuasan kerja. Komitmen mengacu pada respon emosional atas aspek khusus dari pekerjaan (Suwandi dan Nur Indriantoro, 1999). Sedangkan Mabley et.al (1979) dalam Suwandi dan Nur Indriantoro (1999) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai tingkat kekerapan identifikasi dan tingkat keterikatan individu kepada organisasi tertentu yang dicerminkan dengan karakteristik adanya keyakinan untuk mengusahakan yang terbaik untuk organisasi, dan adanya keinginan yang pasti untuk mempertahankan keikutsertaan dalam organisasi.
Pei dan Davis (1989) dalam annya menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara komitmen organisasi dengan profesionalisme. Hal ini konsisten dengan temuan Kalbers dan Fogarty (1995), Rahmawati (1997), tetapi berbeda dengan Harrel et.al (1986) yang mendapati bahwa komitmen organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan profesionalisme.

2.3 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi.
Menurut Robbins (1996) kepuasan kerja adalah suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang; sebagai perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya yang diyakini yang seharusya diterima.
Sedangkan komitmen organisasi dapat didefinisikan sebagai (1) sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari organisasi dan atau profesi, (2) sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi dan atau profesi. (3) sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi dan atau profesi (Aranya et al.1980).Lain halnya menurut Robbin (1996) komitmen organisasi adalah derajat sejauh mana seorang karyawan memihak suatu organisasi tertentu dan tujuan -tujuanya, dan berniat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi .
Kepuasan kerja dan komitmen organisasi adalah 2 hal yang sering dijadikan pertimbangan saat mengkaji pergantian akuntan yang bekerja (Poznanski dan Bline, 1997). Beberapa an terdahulu misalnya Gregson (1992) melaporkan hasil dari suatu studi dimana kepuasan kerja sebagai pertanda awal terhadap komitmen organisasi dalam sebuah model pergantian akuntan yang bekerja. Tetapi terdapat beberapa batasan dalam studi Gregson tersebut, karena masalah indentifikasi, sebuah model dengan hubungan timbal balik antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi tidak dapat diuji. Kurangnya indentifikasi dapat disebabkan oleh tidak adanya penggolongan kondisi atau persyaratan, urutan kondisi atau kedua-duanya. Tanpa indentifikasi yang cukup estimasi parameter akan berubah-rubah dan inteprestasi terhadap parameter tersebut menjadi tak berarti (Long, 1986).
Harrel et. all (1986) meneliti pengaruh komitmen organisasi, profesional dan konflik organisasi profesional pada kepuasan kerja. Komitmen organisasi diduga telah diutamakan daripada kepuasan kerja. Hasil ini secara statistik nyata bagi interaksi multiplikatif (ganda) dan 3 variabel: komitmen organisasi, komitmen profesional dan konflik organisasi -profesional.
Sedangkan Aranya et.all (1982) menganalis efek komitmen organisasi dan profesional pada kepuasan kerja para akuntan yang dipekerjakan. Dengan menggunakan komitmen profesional dan organisasi sebagai predictor kepuasan kerja, dan melaporkan adanya suatu korelasi nyata secara statistik antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja. Komitmen profesional mempengaruhi kepuasan kerja secara tidak langsung melalui komitmen organisasi. Norris dan Ni Buhr (1983) dan Meixner dan Bline (1989) juga mendukung kesimpulan Aranya et. all (1982) bahwa komitmen organisasi dan komitmen profesional adalah kompatibel atau sesuai. Juga korelasi nyata secara statistik antara kepuasan kerja dengan komitmen profesional maupun organisasi ditemukan.
Beberapa penelitian yang lain menggunakan kepuasan kerja dan komitmen organisasi sebagai prediktor pergantian tujuan, misalnya Cohen (1993) ; Cohen dan Hudecek (1993) ; Vandeberg dan Scarpello (1994) ; Sorensen dan Sorensen (1974) ; Rasch dan Harell (1990) sedangkan studi lain yang menggunakan kedua konsep itu sebagai prediktor simultan perubahan tujuan yaitu Porter et. all (1994) ; Shore et. all (1990); Jenkins dan Thomlinson (1992) ; Rahim dan Afza (1993).
Quarles (1994) meneliti mekanisme yang mempengaruhi komitmen internal auditor, kepuasan kerja dan perubahan tujuan. Dalam studinya ini menghipotesakan komitmen organisasi sebagai pertanda awal terhadap kepuasan kerja. Dan menemukan hubungan positif yang signifikan antara kotmitmen organisasi dan kepuasan kerja, dan hubungan yang berlawanan antara kepuasan kerja dan pergantian tujuan.
Reed et al (1994) membuat model komitmen organisasi dan kepuasan kerja dalam sebuah model non-rekursif, keduanya sebagai antesenden terhadap pergantian tujuan. Meskipun mereka tidak secara khusus menguji sebab akibat antara konsep-konsep tersebut, sebuah hubungan yang signifikan dilaporkan antara jalur kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi dan lajur komitmen terhadap kepuasan kerja.
Studi yang telah secara khusus menguji hubungan sebab akibat antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja memiliki hasil-hasil inkonklusif (yang tak meyakinkan) dan campur aduk. Sebagai contoh
Gregson (1992) melaporkan bahwa kepuasan kerja adalah pertanda awal terhadap komitmen, sedangkan Bateman dan Strasser (1984) melaporkan komitmen menjadi pertanda awal terhadap kepuasan kerja.
William dan Hazer (1986) melaporkan timbal balik yang mungkin antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi, tetapi tidak dapat diuji untuk model identifikasi masalah. Curry et al (1986) melaporkan bahwa tidak ada pendukung untuk keterkaitan sebab akibat atau komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja, maupun kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi. Mathieu (1991) menyatakan bahwa hasil-hasil dari studinya tidak dapat mendukung suatu hubungan sebab akibat yang mana satu konsep adalah preseden bagi yang lain, meski terdapat hubungan timbal balik antara keduanya.

2.4. Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan Intensi keluar
Beberapa penelitian mendukung adanya hubungan yang signifikan antara komitmen organisasi dan intensi keluar. Penelitian empiris Billing dan Beker (1983) mendukung hipotesis bahwa individu yang memenuhi komitmen organiasi akan memiliki tingkat kepuasan dan prosocial organization behavior yang lebih tinggi dan Intensi keluar yang semakin rendah. Hal ini juga dikemukan oleh (Arnold dan Fieldman, 1982) pada model turnover process yang mendukung hubungan signifikan antara variabel independen dan perilaku turnover nyata. Fokus utama model tersebut dan temuan penelitian ditujukan untuk mengindentifikasi antecedentturnover telah banyak memperoleh perhatian dalam berbagai literatur psikologi, seperti yang ditawarkan oleh Mobley (1977) dsalam Judge (1993). Meskipun model tersebut mempertimbangkan komitmen organisasi sebagai suatu sikap yang berhubungan dengan kepuasan, akan tetapi hipotesis hubungan kausalnya tidak jelas. komitment organisasi atas berabagai kategori. Dalam pembahasannya telah memasukkan karakteristik personal, pengalaman kerja, karakteristik pekerjaan, faktor-faktor organisasi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan peran. Model konseptual
Penelitian lain yang dilakukan William dan Hazer (1986), melalui penggunaan structural equation methodology, menyimpulkan bahwa komitmen organisasi memiliki pengaruh lebih penting pada intensi keluar daripada kepuasan kerja.Shore dan Martin 1989 menemukan kepuasan kerja dan komitmen organisasi berhubungan dengan turnover dan komitmen organisasi lebih besar hubungannya dengan turnover

Langkah Langkah Menjadi Auditor


Auditor merupakan orang yang kompeten, independen dan obyektif dalam melakukan proses audit. Berikut ini merupakan gambaran umum yang dapat saya berikan mengenai jenis auditor dan apa yang harus dilakukan agar menjadi auditor yang baik. Tentunya informasi ini saya dapatkan dari beberapa bacaan dan sumber yang dapat dipercaya.

Berdasarkan kelompok atau pelaksana audit, auditor dibagi 3 jenis yaitu:

1) Auditor ekstern/independent bekerja untuk kantor akuntan publik yang statusnya diluar struktur perusahaan yang mereka audit. Pada umumnya, auditor ekstern menghasilkan Laporan Hasil Audit atas Laporan Keuangan.

2) Auditor intern bekerja untuk perusahaan yang mereka audit. Laporan Hasil Audit Operasional/Manajemen umumnya berguna bagi manajemen perusahaan yang diaudit dalam melakukan perbaikan kinerja perusahaan. Oleh karena itu tugas internal auditor biasanya adalah audit operasional/manajemen.

3) Auditor Pemerintah yaitu auditor yang bekerja untuk kepentingan pemerintah, misalnya di bidang perpajakan atau audit terhadap dana-dana yang bersumber dari pemerintah.

Seorang auditor dikatakan profesional jika dalam bekerja selalu berpedoman pada Standar Audit. Dalam standar umum khususnya disebutkan bahwa auditor harus ahli, trampil dan mempunyai kehati-hatian profesional serta tidak memihak yang pada akhirnya akan merugikan salah satu pihak yang berkepentingan. Auditor yang profesional akan merencanakan audit sebaik-baiknya, mempertimbangkan risiko yang timbul dan melakukan pengumpulan serta pengujian bukti secara cermat. Jika seluruh proses dilalui sesuai dengan standar, maka hampir dapat dipastikan bahwa Laporan Hasil Audit yang dihasilkan akan dapat dipertanggungjawabkan secara profesi.

Tentu saja untuk menjadi seorang auditor profesional tidak seperti membalikan telapak tangan, tetapi melalui proses yang panjang dan berkelanjutan.

Saran berikut ini diharapkan dapat menjadikan seseorang dapat menjadi auditor yang profesional:

1) Memupuk sejak dini sifat/sikap positif, seperti jujur, rasa ingin tahu yang tinggi, tidak cepat merasa puas dan etika yang tinggi.

2) Pendidikan formal berkelanjutan, terutama untuk mendapatkan konsep-konsep dasar akuntansi dan auditing.

3) Pendidikan dan latihan profesi berkelanjutan untuk memperoleh sertifikat auditor dan mengembangkan kemampuan teknis dan komunikasi serta pengetahuan mengenai isu terkini di bidang akuntansi dan auditing.

THE BIG FOUR


The Big Four adalah empat internasional terbesar akuntansi dan profesional jasa perusahaan, yang menangani sebagian besar audit bagi perusahaan diperdagangkan publik serta banyak perusahaan swasta , menciptakan oligopoli dalam audit perusahaan besar.

Kelompok ini dulunya dikenal sebagai Big “Delapan”, dan dikurangi dengan “Big Five” oleh serangkaian merger . Big Five menjadi Big Four setelah kematian-dekat dari Arthur Andersen pada tahun 2002, menyusul keterlibatannya dalam skandal Enron .

Hukum adalah sebuah perusahaan tunggal. Setiap jaringan perusahaan, dimiliki dan dikelola secara independen, yang telah mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan anggota lain di dalam jaringan untuk berbagi nama yang sama, merek dan kualitas standar. Setiap jaringan telah membentuk suatu entitas untuk mengkoordinasikan kegiatan jaringan. Dalam dua kasus (KPMG dan Deloitte Touche Tomatsu), yang mengkoordinasi entitas Swiss, dan dalam dua kasus (PricewaterhouseCoopers, dan Ernst & Young) yang mengkoordinasi Inggris entitas adalah perusahaan terbatas . Entitas sendiri tidak praktik akuntansi, dan tidak memiliki atau mengontrol perusahaan-perusahaan anggota.

Dalam kebanyakan kasus praktek setiap anggota perusahaan dalam satu negara, dan disusun untuk memenuhi peraturan lingkungan di negara itu. Namun, pada tahun 2007 KPMG mengumumkan merger empat perusahaan anggota (di Britania Raya, Jerman, Swiss dan Liechtenstein) untuk membentuk sebuah perusahaan tunggal.

Angka-angka dalam artikel ini mengacu pada pendapatan gabungan dari setiap jaringan perusahaan.

Merger dan Auditor Big

Sejak 1989, merger dan satu skandal besar yang melibatkan Arthur Andersen telah mengurangi jumlah perusahaan akuntansi utama 8-4.

Big 8 (sampai 1989)

Perusahaan yang disebut Big 8 untuk sebagian besar abad ke-20, yang mencerminkan dominasi internasional dari delapan perusahaan akuntansi terbesar:
Arthur Andersen
Arthur Young & Co
Coopers & Lybrand
Ernst & Whinney (sampai tahun 1979 Ernst & Ernst di AS dan Whinney Murray di Inggris)
Deloitte Haskins & Sells (hingga tahun 1978 Haskins & Sells di AS dan Deloitte Plender Griffiths di Inggris)
Gambut Marwick Mitchell , kemudian Gambut Marwick
Price Waterhouse
Touche Ross

Sebagian besar berasal Big 8 aliansi yang terbentuk antara Inggris dan perusahaan akuntansi Amerika Serikat pada abad ke-19 atau awal 20. Price Waterhouse adalah perusahaan Inggris yang membuka kantor AS pada tahun 1890 dan kemudian membentuk kemitraan AS terpisah. Inggris dan AS Gambut Marwick Mitchell perusahaan mengadopsi nama yang umum pada tahun 1925. nama perusahaan lain yang digunakan terpisah untuk bisnis dalam negeri, dan tidak mengadopsi nama-nama umum sampai lama kemudian: Touche Ross pada tahun 1960, Arthur Young (di Young Arthur pertama, McLelland Moores) pada tahun 1968, Coopers & Lybrand pada tahun 1973, Deloitte Haskins & Sells pada tahun 1978 dan Ernst & Whinney pada tahun 1979. [5]

awal internasional ekspansi perusahaan ‘tersebut didorong oleh kebutuhan dari Inggris dan AS berdasarkan perusahaan multinasional untuk layanan di seluruh dunia. Mereka diperluas dengan membentuk kemitraan lokal atau dengan membentuk aliansi dengan perusahaan-perusahaan lokal.

Arthur Andersen memiliki sejarah yang berbeda. Perusahaan berasal dari Amerika Serikat, dan dikembangkan secara internasional dengan mendirikan kantor sendiri di pasar lain, termasuk Britania Raya.

Pada 1980-an Big 8, masing-masing sekarang dengan merek global, diadopsi pemasaran modern dan tumbuh pesat. Mereka bergabung dengan perusahaan yang lebih kecil. Salah satu yang terbesar merger ini pada tahun 1987, ketika Gambut Marwick bergabung dengan Grup KMG menjadi KPMG Peat Marwick, kemudian dikenal hanya sebagai KPMG.

Big 6 (1989-1998)

Persaingan antara perusahaan-perusahaan akuntansi publik ditingkatkan dan Big 8 berubah menjadi the Big 6 tahun 1989 pada saat Ernst & Whinney bergabung dengan Arthur Young membentuk Ernst & Young di bulan Juni dan Deloitte, Haskins & Sells bergabung dengan Touche Ross membentuk Deloitte & Touche di bulan Agustus .

Membingungkan, di United Kingdom perusahaan lokal dari Deloitte, Haskins & Sells bergabung dengan Coopers & bukan Lybrand. Selama beberapa tahun setelah merger, perusahaan gabungan itu disebut Coopers & Lybrand Deloitte dan perusahaan lokal Touche Ross tetap memakai nama aslinya. Pada pertengahan 1990-an Namun, kedua perusahaan Inggris berganti nama menjadi cocok dengan masing-masing organisasi internasional. Di sisi lain, di Australia perusahaan lokal Touche Ross bergabung dengan KPMG bukan. [6] [7] Hal ini untuk alasan-alasan bahwa Deloitte & Touche organisasi internasional dikenal sebagai DRT Internasional (kemudian DTT Internasional), untuk menghindari penggunaan nama-nama yang akan ambigu (dan juga diperebutkan) di pasar tertentu.

Big 5 (1998-2001)

The Big 6 menjadi 5 besar pada bulan Juli 1998 pada saat Price Waterhouse bergabung dengan Coopers & Lybrand untuk membentuk PricewaterhouseCoopers .

Big 4 (2002 -)

The Enron runtuh dan investigasi berikutnya diminta pengawasan pelaporan keuangan mereka, yang telah diaudit oleh Arthur Andersen , yang akhirnya didakwa untuk terhalangnya keadilan untuk merobek-robek dokumen yang terkait dengan audit dalam skandal Enron 2001 . Keyakinan yang dihasilkan, sejak terbalik, masih efektif berarti akhir untuk Arthur Andersen. Sebagian besar praktek negara di seluruh dunia telah dijual kepada anggota yang kini The Big Four, khususnya Ernst & Young global, Deloitte & Touche di Inggris dan Kanada, dan PricewaterhouseCoopers di China dan Hong Kong.

Big 4 kadang-kadang disebut sebagai “Final Four” [8] karena persepsi yang diadakan secara luas bahwa regulator kompetisi tidak mungkin untuk memungkinkan konsentrasi lebih lanjut industri akuntansi dan bahwa perusahaan lain tidak akan bisa bersaing dengan Big 4 untuk bekerja sebagai ujung atas ada persepsi pasar bahwa mereka tidak kredibel sebagai auditor atau penasihat untuk perusahaan-perusahaan terbesar.

2002 melihat bagian dari Sarbanes-Oxley Act menjadi undang-undang, memberikan aturan kepatuhan yang ketat untuk kedua perusahaan dan auditor.
Merger dan perkembangan
(2001) Arthur Andersen
Dikembangkan dari Andersen, Delany
Ernst & Young (1989)
Young Arthur (1968)
Ernst & Whinney (1979)
Ernst & Ernst (US)
Whinney Murray (Inggris)
Whinney, Smith & Whinney
PricewaterhouseCoopers (1998)
Coopers & Lybrand (1973)
Cooper Brothers (Inggris)
Lybrand, Ross Bros, Montgomery (US)
Price Waterhouse
Deloitte Touche Tohmatsu
Deloitte & Touche (1989)
Deloitte Haskins & Sells (1978)
Deloitte Plender Griffiths (Inggris)
Haskins & Sells (US)
Touche Ross (1960)
Touche, Ross, Bailey & Smart
Ross, Touche (Kanada)
George A. Touche (Inggris)
Touche, Niven, Bailey & Smart (US)
Touche Niven
Kebun istana
AR Smart
Tohmatsu & Co (Jepang)
KPMG (1987)
Peat Marwick Mitchell (1925)
William Barclay Gambut (Inggris)
Marwick Mitchell (US)
KMG
Klynveld Goerdeler Utama
Klynveld Kraayenhof (Belanda)
McLintock Thomson (Inggris)
Utama Lafrentz (US)
Deutsche Gesellschaft Treuhand (Jerman)

Sebuah tahun pada akhir tahun menunjukkan pembentukan melalui merger atau adopsi dari nama merek tunggal. Sebuah tahun awal menunjukkan tanggal penutupan berfungsi atau pergi dari menonjol.

Kebijakan tentang masalah konsentrasi industri

Dalam bangun dari konsentrasi industri dan individu kegagalan perusahaan, masalah struktur industri alternatif yang kredibel telah dibangkitkan. [9] The faktor pembatas terhadap pertumbuhan perusahaan tambahan adalah bahwa meskipun beberapa perusahaan dalam tingkatan berikutnya telah menjadi cukup besar , dan telah membentuk jaringan internasional, efektif semua perusahaan publik sangat besar berusaha keras untuk memiliki sebuah “Big Four” audit, sehingga perusahaan-perusahaan kecil tidak memiliki cara untuk tumbuh menjadi ujung atas pasar.

Republik Rakyat Cina
Di Republik Rakyat China, empat besar perusahaan akuntansi yang berafiliasi dengan kantor akuntan lokal seperti di bawah peraturan pemerintah saat ini sangat dilarang untuk perusahaan asing untuk membuka perusahaan yang dimiliki sepenuhnya di Cina.
Pricewaterhouse Zhong Tian berafiliasi dengan PricewaterhouseCoopers.
Zhen Hua KPMG berafiliasi dengan KPMG.
Ernst & Young Min Hua berafiliasi dengan Ernst & Young.
DTT Hua Yong mempunyai afiliasi dengan DTT.

Yordania
1 – Ernst & Young

2 – Deloitte Touche Tohmatsu

3 – KPMG

4 – PWC

Mesir
Di Mesir , para “Big auditor perusahaan “adalah lokal afiliasi dari Jaringan Big perusahaan internasional:

1 – Hazem Hassan – KPMG . [10]
2 – Mostafa Shawki & Co – MAZARS [11]
3 – Mansour & Co – PricewaterhouseCoopers .
4 – Saleh Kamel – Deloitte Touche Tohmatsu (DTT).
5 – Ragheb Emad – Ernst & Young .

Indonesia

Di Indonesia , ada empat auditor besar, semua adalah afiliasi dari The Big Four:
KAP Purwantono, Sarwoko, Sandjaja – afiliasi dari Ernst & Young
KAP Osman Bing Satrio – Deloitte Touche Tohmatsu (DTT) [12]
KAP Sidharta, Widjaja – afiliasi dari KPMG
KAP Haryanto Sahari & Rekan – afiliasi dari PwC

Israel
Di Israel , ada lima auditor besar, empat di antaranya adalah afiliasi dari The Big Four: [13]
Kost, Forer, Gabbay & Kasierer (Ernst & Young Israel)
KPMG Somekh Chaikin
Deloitte Brightman Almagor Zohar
Kesselman & Kesselman, PwC Israel
BDO Ziv tangkai (afiliasi dari BDO International )

Jepang
Di Jepang , para “Big Four auditor” adalah afiliasi lokal dari perusahaan internasional Big Four:
Ernst & Young ShinNihon LLC – afiliasi dari Ernst & Young
KPMG AZSA & Co – afiliasi dari KPMG
PricewaterhouseCoopers Aarata – afiliasi dari PricewaterhouseCoopers
Deloitte Touche Tohmatsu – afiliasi dari Deloitte Touche Tohmatsu (DTT)

nama Inggris dari setiap perusahaan yang berbeda dari Jepang. Ernst & Young ShinNihon LLC adalah ‘ShinNihon Yugen-sekinin Kansa Houjin 新 日本 有限 责任 监 查 法人,’ KPMG AZSA & Co adalah ‘Azsa Kansa Houjin あずさ 監査 法人,’ PricewaterhouseCoopers Aarata adalah ‘Aarata Kansa Houjin あらた 監査 法人,’ dan Deloitte Touche Tohmatsu adalah ‘Kansa Houjin Tohmatsu 監査 法人 トーマツ. “

Setelah penemuan penipuan akuntansi di Kanebo , dengan Badan Jasa Keuangan di Jepang dihentikan ChuoAoyama dari melakukan pekerjaan audit untuk kontrol internal yang tidak memadai, selama dua bulan mulai tanggal 1 Juli 2006 dan seterusnya. Pada tanggal 1 Juli 2006, PwC memulai sebuah perusahaan akuntansi baru di Jepang, disebut PricewaterhouseCoopers Aarata. Tidak seperti ChuoAoyama (nama Misuzu kemudian) [14] , yang merupakan perusahaan jaringan PwC, PricewaterhouseCoopers Aarata adalah perusahaan anggota jaringan global PwC dan akan menerapkan pengendalian internal dan metodologi. [15] Misuzu Audit Corp dilarutkan dalam 2007 setelah salah satu klien audit, Nikko Cordial, perusahaan stockbrokerage, terkena dengan skandal akuntansi. [16]

Singapura
Di Singapura , perusahaan afiliasi dari The Big Four adalah:
PricewaterhouseCoopers LLP
Ernst & Young LLP
KPMG LLP
Deloitte Touche Tohmatsu LLP

Malaysia
Di Malaysia , perusahaan afiliasi lokal telah mengadopsi nama-nama perusahaan internasional Big Four:
PricewaterhouseCoopers
Ernst & Young
KPMG
Deloitte KassimChan – anggota dari Deloitte Touche Tohmatsu (DTT)

Republik Korea
Perusahaan akuntansi berikut domestik telah bergabung dengan keanggotaan dari Big Four perusahaan internasional.
Hanyoung LLC – anggota Ernst & Young
Samjong LLC – anggota KPMG
Samil LLC – anggota dari PricewaterhouseCoopers
Ahnjin LLC – anggota dari Deloitte Touche Tohmatsu (DTT)

Brasil
1 – PricewaterhouseCoopers

2 – Deloitte Touche Tohmatsu

3 – Ernst & Young

4 – KPMG

Arab Saudi
Dalam Arab Saudi , “Big Four auditor” adalah afiliasi lokal dari perusahaan-perusahaan internasional Big Four;
Deloitte & Touche Bakar Abulkhair & Co – anggota dari Deloitte Touche Tohmatsu (DTT)
PricewaterhouseCoopers AlJuraid – anggota dari PricewaterhouseCoopers
Ernst & Young Arab Saudi – anggota Ernst & Young
KPMG Al Fozan & Al Sadhan – anggota KPMG

Turki
Di Turki , para “Big Four auditor” adalah afiliasi lokal dari perusahaan-perusahaan internasional Big Four;
Ve Güney Bagimsiz Denetim SMMAS – anggota Ernst & Young,
Akis Bagimsiz Denetim ve SMMAS – afiliasi dari KPMG,
Basaran Nas Bagimsiz Denetim ve SMMAS – afiliasi dari PwC
DRT Bagimsiz Denetim ve SMMAS – afiliasi dari Deloitte Touche Tohmatsu (DTT)

Selain empat besar, ada perusahaan afiliasi lain yang memiliki hubungan afiliasi afiliasi lebih lemah dibandingkan empat besar.

India
Di India, perusahaan-perusahaan anggota tidak diijinkan untuk mengubah nama mereka agar sesuai dengan merek internasional. [17] Perusahaan-perusahaan lokal adalah:
Price Waterhouse, anggota PwC
Deloitte Haskins & Sells, anggota dari Deloitte Touche Tohmatsu (DTT)
BSR & Co, anggota KPMG
SR Batliboi & Co, SR Batliboi & Associates & SV Ghatalia & Associates perusahaan anggota dari Ernst & Young

Pakistan
Di Pakistan , The Big Four adalah afiliasi dari audit perusahaan lokal berikut, yang merupakan perusahaan terkemuka di Pakistan:
Ernst & Young (Pakistan) – Dahulu Ford Rhodes sidat Hyder & Co [18]
KPMG Taseer Hadi & Co – anggota KPMG Internasional [19]
M. Yousuf Adil Saleem & Co – anggota dari Deloitte Touche Tohmatsu (DTT) [20]
AF Ferguson & Co – Anggota PricewaterhouseCoopers [21]

Filipina
Di Filipina , perusahaan afiliasi dari The Big Four adalah:
Manabat Delgado Amper & Co (sebelumnya CL Manabat & Co) – afiliasi dari Deloitte Touche Tohmatsu (DTT)
Isla Lipana & Co (sebelumnya Joaquin Cunanan & Co) – afiliasi dari PwC
Manabat Sanagustin & Co (sebelumnya Laya Mananghaya & Co) – afiliasi dari KPMG
Sycip Gorres Velayo & Co ( SGV & Co ) – afiliasi dari Ernst & Young

Sri Lanka
Di Sri Lanka perusahaan afiliasi dari empat besar adalah:
SJMS Associates
KPMG
Ernst & Young
PricewaterhouseCoopers
BDO Mitra

Swedia
Ernst & Young (sebelumnya Hagstrom & Olsson)
Öhrlings PricewaterhouseCoopers (sebelumnya Öhrlings Reveko)
Deloitte Touche Tohmatsu (sebelumnya Trg Revisi)
KPMG (sebelumnya Bohlins revisionsbyrå)

Meksiko
Galaz, Yamazaki, Ruiz Urquiza, SC, anggota dari Deloitte Touche Tohmatsu [22]
Ernst & Young [23]
México PricewaterhouseCoopers [24]
KPMG Cárdenas Dosal, SC, anggota KPMG International Koperasi [25]
Argentina
Sibille – Afiliasi KPMG Koperasi Internasional [26]
Deloitte & Co SRL [27]
PricewaterhouseCoopers [28]
Ernst & Young [29]

Sumber : www.wikipedia.org

CSR di Tahun 2008: Tak Ada Kecenderungan Menyurut


Refleksi
Kendati urut peristiwa bukanlah mata rantai sebab akibat, namun agaknya merugi jika tidak mencoba berefleksi sebentar menarik kerangka logis rentetan kejadian. Bagi mereka yang akrab dengan teori siklus, setiap perubahan, baik dengan langgam perlahan evolusi maupun detak kencang revolusi, dilihat sebagai gerakan melingkar. Semua gejala sebenarnya mengarah pada titik substansi tertentu—yang mungkin bersifat universal. Bagi mereka yang memandang hidup sebagai garis lurus, juga percaya bahwa berbagai bentangan garis lurus beragam peristiwa yang seakan berdiri independen, tetap menuju ke sebuah muara—yang mungkin menjadi satu-satunya pelabuhan dari berbagai gerakan, lompatan, bahkan dentuman. Mari berefleksi sejenak atas pertanyaan tunggal: ke mana CSR 2008 mengarah? Tulisan ini mengajak pembaca untuk mengenakan “kaca mata” Alexander Dahlsrud, lewat artikelnya dengan tajuk “How Corporate Social Responsibility is Defined: an Analysis of 37 Definitions”, (Jurnal Corporate Social Responsibility and Environmental Management, No 15/2008) untuk menjawab pertanyaan ini. Setelah melakukan telaah panjang, Dahlsrud menyatakan bahwa muara dari berbagai debat CSR sebenarnya bisa didefinisikan sebagai kontribusi perusahaan untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan—sebuah proses perubahan yang disengaja untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dahlsrud juga mengidentifikasi 5 komponen pokok dari berbagai definisi CSR yang ada, yaitu: ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan dan voluntarisme. Buat Dahlsrud, habis sudah perdebatan soal definisi CSR. Kalau pun ada, itu cuma masalah artikulasi, bukan substansi. Tidak demikian halnya di Indonesia. Perdebatan definisi dan praktik ideal CSR menjadi wacana hangat di Indonesia. Bahkan ia memasuki ruang kebijakan. Secara eksplisit, isu CSR masuk dalam Undang-Undang Penanaman Modal dan Perseroan Terbatas; pun disinggung secara tegas dalam Rencana Undang Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Namun sayang, perundangan ini lebih menunjukkan ketertarikan pada pewajiban, sanksi, porsi dana, dan keamanan kepentingan bisnis. Tidak tersinggung sama sekali soal makna, nilai, dan cita-cita pembangunan berkelanjutan. Demikian pula dengan reaksi pihak perusahaan. Rata-rata mereka menunjukkan penolakan, dengan alasan sama: masalah dana. Jika pemerintah melihat CSR sebagai peluang memeroleh dana di luar pajak dan kewajiban regulasi lainnya, maka pihak perusahaan seakan berpaduan suara menyatakan bahwa
pewajiban CSR sebagai hanyalah tambahan pengeluaran anggaran.


Kendati begitu, ada satu titik temu yang cukup marak disepakati oleh berbagai kalangan. Topik mengenai reputasi dan alasan keamanan keberlanjutan bisnis menjadi pilihan sikap di tengah-tengah keterbatasan pengetahuan, akan keniscayaan CSR. Berbagai award, iklan reputasi yang mengandalkan testimoni pihak kedua atau ketiga, dan penambahan divisi CSR dalam struktur organisasi perusahaan, tampak menjadi fenomena yang seragam. Pun dengan media yang membuat ruang cukup lebar isu CSR. Hanya saja, secara keseluruhan tampaknya masih “buram” jika menggunakan kacamata Dahlsrud. Keburaman ini terlihat dari ragam isu CSR yang terekam, di mana kebanyakan perusahaan masih menoleransi praktik-praktik bisnis yang “busuk”. Konflik internal dengan isu soal gaji dan PHK tenaga kerja, bisnis transportasi yang mencelakakan konsumennya, soal perebutan hak atas tanah, penggelapan pajak, penyerobotan hutan lindung, dan praktik penggalian sumberdaya alam yang turut menjadi penyebab pokok bencana sosial dan lingkungan, masih terus menjadi peristiwa yang semakin menjadi-jadi di tengah maraknya “kesadaran” akan keharusan menjalankan bisnis secara etis dan penuh tanggung jawab kepada berbagai pemangku kepentingan. Jangankan melakukan stakeholder engagement dengan pemangku kepentingan eksternal, hubungan dengan pemangku kepentingan internal saja masih terus dilanda percekcokan dan terancam “perceraian”. Isu lain yang juga cukup mencolok adalah soal kerusakan lingkungan dan upaya mengelola sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Terdapat wacana menarik, namun hangathangat tahi ayam, mengenai gerakan investasi teknologi bersih. Sempat ada sentakan dengan suara serak dari Dr. Hendro Sangkoyo untuk segera menghentikan karbokrasi, yakni sistem ekonomi dan turunannya dalam jangka panjang yang kelewat bergantung pada pasokan energi fosil. Pun dengan penyelenggaraan COP 13 Desember lalu di Bali, yang gaungnya hanya terhitung bilangan bulan dengan jari sebelah tangan. Kenduri lainnya, UN Global Compact Leaders Summmit pada Juli 2007, MDGs Award Metro TV, CSR Asia Award di Vietnam. Semuanya masih ditempatkan sebagai hentakan suara serak sebentar saja, yang nyaris tak berbekas sesudahnya. Berbagai desakan etis itu sama sekali belum tampak tidak menggerakkan perusahaan di Indonesia untuk memulai prakarsa membuktikan tesis Orlitzky, Schmidt dan Rynes (2003) yang telah membuktikan kaitan positif antara kinerja CSR dengan kinerja finansial. Sekali lagi, tidak ada kesediaan dari perusahaan untuk mendefinisikan wilayah kerja CSR sesuai dengan bisnis intinya, menghitung detail investasi sosial dan lingkungan, dan melakukan analisis hubungan secara saksama antara kinerja CSR dengan tingkat keberlanjutan bisnisnya. Hal ini sangat menonjol terlihat dari bagaimana laporan keberlanjutan perusahaan yang menempatkan posisi “kinerja” CSR nyaris seperti balutan kometik yang menghadirkan kecantikan sesaat, yang segera terhapus oleh “hujan” masalah-masalah sosial dan lingkungan yang masih banyak terjadi. Secara sosial, perhatian dan upaya sungguh-sungguh akan minimalisasi dampak nyaris tidak menjadi pertimbangan pokok investasi dan ekspansi bisnis. Kasus terbaik yang muncul di sepanjang tahun 2007 adalah maraknya bisnis perkebunan sawit mengiringi terus melambungnya harga CPO dunia. Demikian pula dengan terus “memburuknya” citra salah satu BUMN di bidang migas di mata masyarakat luas—baik karena kerusakan infrastruktur milik perusahaan, maupun sebagai implikasi dari tren merosotnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Sementara dari sisi kelompok “penekan” seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM)— khususnya LSM lingkungan, media, dan kelompok masyarakat sipil lainnya, masih mengandalkan nada keras, ancaman pemburukan reputasi lewat tuntutan lembaga pengadilan, mengandalkan gerakan demonstrasi, dan tidak mendukung gerakannya dengan pertimbangan dan “kecakapan ilmiah”. Gerakan mereka nyaris sedikit bisa dipersamakan dengan tekanan politik dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sering digugat kecakapan kompetitifnya dan keabsahan representasinya sebagai wakil rakyat. Secara umum, hubungan antara perusahaan dengan pemangku kepentingan sosial masih menunjukkan pola hubungan permusuhan dan kemesraan sesaat. Tidak ada kesadaran— mungkin karena lemahnya pengetahuan, untuk melakukan engagement, bersama-sama berusaha untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. LSM sering kali mengajukan jalan pintas dengan kalimat “pokoknya moratorium!”. Sebaliknya perusahaan—dan juga pemerintah—sibuk mengajukan argumen pencapaian angka statistik mengenai dampak ekonomi, tanpa pernah membicarakan hal-hal di luar itu. Pola komunikasi ini nyaris menjadi klasik. Nyaris kedua belah pihak tidak ada kesediaan untuk secara saksama dan bersama-sama untuk berupaya melangsungkan perubahan sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik, dan personal, di mana cadangan yang dikelola untuk kebutuhan itu oleh generasi saat ini minimal sama dengan cadangan untuk generasi berikutnya.

Satu hal yang mungkin sedikit menggembirakan adalah maraknya kegiatan voluntarisme sebagai sisi lain dari serangan bencana alam yang bertubi-tubi di sepanjang 2007. Banjir Jakarta sepertinya disepakati dibaca sebagai sebuah business case. Nyaris semua perusahaan, besar maupun kecil, berlomba-lomba melakukan derma kepada korban bencana. Walau agak sedikit miris juga, gegap gempita bala bantuan dari perusahaan ini tak begitu semarak di wilayah banjir lainnya, khususnya di luar Jawa. Lepas dari demikian strategis dan “seksi”nya posisi Jakarta di mana hampir seluruh head office perusahaan besar berada di sana, tampak sangat semarak semangat kemanusiaan di sini. CSR—atau tepatnya kegiatan filantropi—pun semakin menguat.
Kejadian itu juga menginspirasi banyak perusahaan untuk menggabungkan diri dalam sebuah perhimpunan filantropi dengan agenda yang lebih luas dan berkelanjutan. Yang agak mengganjal adalah tidak sedikit perusahaan melaporkan kepada publik bahwa derma kemanusiaan itu sebagai bentuk CSR perusahaan yang utama. Bagaimana mungkin, sebuah industri rokok misalnya, menyatakan bahwa CSR utamanya adalah memberikan bantuan dengan membangun sekian ratus sekolahan mulai dari tingkat dasar sampai dengan menengah di wilayah bencana, sementara ia sendiri tidak bersedia dengan serius berkontribusi pada upaya-upaya minimalisasi dampak industri rokok sebagai bagian dari harmful industries?
Berbagai Kecenderungan Soal debat definisi. Kendati Dahlsrud mencoba mengunci mati perdebatan mengenai CSR, di mana Dahlsrud mematok bahwa CSR sebagai kontribusi perusahaan bagi tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), namun soal definisi ini masih menjadi topik yang hangat diperdebatkan. Subhabrata Bobby Banerjee menulis sebuah artikel dengan nada menggugat: “Corporate Social Responsibility: The Good, the Bad and the Ugly” yang termuat di jurnal Critical Sociology No. 34/2008. Banerjee di situ menegaskan bahwa:
“Wacana tanggung jawab sosial perusahaan dan berbagai wacana terkait inisiatif voluntarisme, corporate citizenship, dan kontribusi perusahaan bagi pembangunan berkelanjutan, kendati wacana ini sering dikemukakan perusahaan sebagai tindakan emansipatoris, namun sebenarnya hanyalah aksi retorik. Retorika ini penting untuk melegitimasi tujuan ekspansi bisnis dan memperlebar jangkauan kekuasaan perusahaan. Berbagai upaya yang sering disebut dengan stakeholder engagement tak lebih
Banyak diyakini bahwa ketundukan kepada regulasi menjadi elemen penting bagi keamanan bisnis mereka. dari sebatas trik dari bagaiamana sekelompok koloni (perusahaan) mengatur, memengaruhi dan menundukkan para pemangku kepentingannya demi tujuan-tujuan keamanan dan keberlanjutan bisnis.” Banerjee juga menyatakan bahwa aksi dan kontribusi perusahaan dalam agenda CSR lebih tepat disebut sebagai “gerakan ideologis” ketimbang sebagai langkah “emansipatori etis”. Tentunya ideologi dimaksud adalah berbagai nilai yang mendukung dan melegitimasikan praktik-praktik kolonialisme. Sedangkan emansipatori etis adalah kesadaran penuh akan keniscayaan argumentasi etis dalam melakukan bisnis demi pembebasan dari kehidupan yang buruk, terbelakang dan merusak. Cara kritis ini jelas memberi angin segar kepada mereka yang membaca langkah ekspansi bisnis dari perusahaan multinasional sebagai sebuah bentuk kolonialisme. Dan mungkin bisa menjadi senjata bagi pelebaran wacana mengenai “nasionalisasi” sumberdaya. Debat mengenai apakah CSR sebagai sebuah kesadaran etis untuk memulai bisnis dengan penuh pertimbangan tentang maksimisasi dampak positif dan minimisasi dampak negatif operasi; ataukah CSR memang hanya sebagai kosmetika untuk menutup wajah buruk perusahaan kemudian menampilkan diri sebagai sosok yang ramah sosial dan lingkungan demi keberlanjutan eksistensi bisnis, rupanya masih akan terus menjadi perdebatan hangat di tahun 2008 ini dan juga tahun-tahun sesudahnya. Pelaksanaan dan Pelaporan CSR. Tren debat klasik di atas mungkin akan terus meningkat dengan hadirnya salah satu pasal UU Perseroan Terbatas dan UU Penanaman Modal tentang pewajiban kepada perusahaan untuk melaksanakan dan melaporkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Banyak diyakini bahwa ketundukan kepada regulasi menjadi elemen penting bagi keamanan bisnis mereka. Dengan demikian, bisa diramalkan bahwa implementasi dan pelaporan CSR di tahun 2008 tampaknya akan semakin marak. Hanya saja ada catatan penting mengenai pelaksanaan pasal TJSL UU PT. Di perundangan itu disebutkan bahwa mekanisme pelaksanaan dan pelaporan TJSL akan diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). Hingga awal Aprril 2008 ketika tulisan ini dibuat, tidak ada kabar signifikan mengenai penyusunan PP TJSL. Perusahaan yang yang hanya hendak menyelenggarakan CSR sebagai kepatuhan terhadap kedua UU pasti akan mengalami kebingungan dengan standar pelaksanaan dan pelaporan yang tak kunjung hadir. UU ini sempat disinggung oleh Hendarman Soepanji, Jaksa Agung RI ketika mencoba memberikan perspektif hukum atas kasus lumpur lapindo. Jaksa Agung menegaskan bahwa Lapindo bisa dijerat karena tidak melaksanakan TJSL, tidak bertanggung jawab sosial dan lingkungan. Sebaliknya Lapindo berteguh menyatakan dirinya tidak bersalah. Mereka mendasarkan argumentasinya pada pembelahan analisis para ahli geologi mengenai pelaksanaan standar dan prosedur pengeboran serta tafsir politik DPR yang memutuskan luapan lumpur Lapindo sebagai bencana. Sementara si berbagai media, Lapindo menyatakan bahwa ganti rugi yang dilakukannya sebagai bentuk kedermawanannya yang mereka nyatakan sebagai CSR. Persoalannya juga menjadi meluas, tidak lagi terbatas antara Lapindo dengan pemangku kepentingan sosial dan lingkungannya. Namun menjadi isu politik yang ruwet dengan melibatkan Presiden, DPR RI, parpol dan berbagai kekuatan sosial-politik lainnya. Agaknya pisau analisis Banerjee sangat membantu untuk menyikapi secara kritis kasus Lapindo ini. Kalau kelak ada pihak yang bisa memberikan bukti tak terbantah bahwa Lapindo memang bersalah, maka sisi “the bad and the ugly” dari praktik CSR-lah yang sebetulnya ditunjukkan oleh Lapindo. Tidak juga mengherankan kalau banyak pakar CSR yang mencatat luapan lumpur ini dalam sejarah tragedi lingkungan yang mungkin bisa disejajarkan dengan Minamata (Jepang), Abefan (Wales), Bhopal (India), Chernobyl (Rusia), Royal Dutch/Shell (Nigeria), dan Strava (Italia) yang melibatkan banyak nama perusahaan seperti Shiowa Maru, Amoco Cadiz Oil, Exxon Valdez, dan seterusnya. Tahun 2008 ini oleh banyak pihak kerap dibaca sebagai tahun persiapan menjelang Pemilu 2009. Sudah menjadi fakta bahwa kontestan politik akan menggali sumber dana dari pihak manapun dan akan menggunakan berbagai cara. Belum jelasnya batasan wilayah kerja dan
panduan laporan TJSL dipastikan menjadi ”kondisi karet” yang bisa berakibat terpaksanya perusahaan mengeluarkan ”dana CSR” untuk kepentingan politik. Sepertinya, di tahun 2008 dan 2009 kelak pelaksanaan dan pelaporan CSR akan bisa dibedah dengan perspektif analisis kepentingan politik, khususnya kepentingan kelompok status-quo. Sudah terlalu banyak pihak-pihak di pusat maupun daerah yang ”terpesona” dengan kemungkinan perusahaan mengucurkan dana ekstra untuk ”pemangku kepentingan”. Padahal, sebagaimana yang telah diperingatkan oleh David Vogel dalam Market for Virtue (2006), keterlibatan perusahaan dalam politik seharusnya hanya yang bersifat positif, yaitu mendorong kebijakan-kebijakan yang pro-sosial dan pro-lingkungan. Kalau perusahaan mendiamkan saja kebijakan yang buruk, atau malah menyokongnya dengan membiayai status quo, maka perusahaan jelas bersalah. Dalam hal pelaporan, RAPP dan KPC telah mengambil langkah yang strategis, dan dengan sukses keluar dari kondisi ambigu UU PT. Mereka mencoba menerapkan standar Global Reporting Initiative (GRI) yang sangat komprehensif termasuk melengkapinya dengan third party assurance. Terlepas dari soal penggunaan panduan GRI yang tidak utuh, paling tidak ada kesediaan dari sejumlah perusahaan untuk mencari standar yang lebih baik dan komprehensif. Seharusnya mulai tahun 2008 ini dan di tahun-tahun mendatang penggunaan standar GRI menjadi tren sustainability reporting perusahaan. Atau setidaknya, dengan pewajiban melaporkan dampak sosial dan lingkungan serta upaya pengelolaannya, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU PT, maka berbagai bentuk pelaporan CSR juga akan meningkat drastis jumlahnya. Hanya saja, ini juga akan sangat tergantung dari tekanan publik atas perusahaan. Menilik pendirian Sidharta Utama (2007), sebetulnya hanya satu dari lima infrastruktur pelaporan keberlanjutan perusahaan yang menjadi domain perusahaan, yaitu tata kelola perusahaan. Sisanya, berasal dari luar perusahaan, termasuk di antaranya regulasi pemerintah, keberadaan standar dan tekanan publik. Kalau di tahun 2008 kita tidak menyaksikan adanya peningkatan kondisi-kondisi infrastruktur tersebut, maka kita juga tak bisa berharap banyak.
Kecenderungan ini mungkin juga akan melebar kepada perkembangan minat perusahaan yang lebih mendalam untuk mempelajari CSR. Tren forum belajar ini di tahun 2008 berkecenderungan terus meningkat. Bahkan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia sudah mulai membuka program studi CSR. Seiring dengan itu, draft ISO 26000 yang mengambil tajuk tanggung jawab sosial organisasi terus semakin memantapkan diri dan dipastikan bakal menjadi sebuah kekuatan “pemaksa” yang cukup efektif bagi perusahaan untuk menjalankan dan melaporkan CSR secara lebih substansial. Walaupun, harus diakui, karena sifatnya yang komprehensif, maka akan sangat sedikit perusahaan di Indonesia yang akan bisa mengadopsinya di awal-awal peluncurannya di tahun 2009 atau 2010 kelak. Mungkin, yang akan terjadi dalam waktu dekat adalah perusahaan mulai menggunakan ISO 26000 sebagai alat pembelajaran CSR. Kalau tahun 2007 lalu diwarnai juga dengan banyak momen pemberian penghargaan dengan tajuk CSR, kemungkinan di tahun 2008 kecenderungannya akan terus meningkat. BUMN yang dinamika organisasinya banyak ditentukan oleh dan memengaruhi dinamika Mungkin, yang akan terjadi dalam waktu dekat adalah perusahaan mulai menggunakan ISO 26000 sebagai alat pembelajaran CSR. politik nasional, sepertinya akan terus menjadi peserta yang paling serius untuk memenangkan berbagai ajang penghargaan ini. Tidak menutup kemungkinan fenomena ini akan juga mendorong berbagai anak perusahaan dari MNC yang beroperasi di Indonesia untuk mempublikasikan laporan kinerja CSRnya sendiri, tidak lagi hanya sebagai bagian kecil dari sustainability report induk perusahaan di level internasional. Terantung dari apakah berbagai pemberiaan penghargaan itu meningkat mutunya, dan apakah pasar memebrikan respons positif terhadap penghargaan itu, tren ini bisa menyadarkan perusahaan untuk menjadikan pelaporan kinerja CSR sebagai alat akuntabilitas manajemen, bukan lagi sebagai media iklan. Semakin menguatnya isu lingkungan. Seperti telah dikemukakan, kesadaran akan keberlanjutan lingkungan menjadi isu yang mengepung berbagai aktivitas bisnis. Kepungan tidak hanya berasal dari pemerintah dan LSM. Tapi juga media. Terdapat kecenderungan kuat, berbagai media melakukan engagement dengan berbagai LSM lingkungan untuk mengampanyekan dan mengadvokasi isu keberlanjutan lingkungan. Tren pantauan, gerakan opini publik, dan bahkan protes tentang keberlanjutan lingkungan diperkirakan akan semakin menguat di tahun 2008. Masalah pembalakan liar dan alih fungsi lahan hutan serta pemanasan global agaknya akan terus dipergunakan sebagai “tema” serangan terhapa perusahaan. Namun, selain bentuk gerakan tekanan seperti itu, terdapat juga kecenderungan lain berupa engagement antara perusahaan dengan LSM—khususnya LSM internasional seperti WWF, CI dan TNC yang telah memiliki kebijakan dan perangkat organisasional untuk berhubungan dengan perusahaan—untuk membuat program bersama tentang pemeliharaan dan pemulihan lingkungan. Agaknya langkah konstruktif ini belum akan diikuti oleh sebagian besar LSM Indonesia dalam waktu dekat. Hubungan yang adversarial akan terus mewarnai hubungan perusahaan dan LSM, karena memang sebagian besar perusahaan belum akan menjalankan CSRnya dengan sungguh-sungguh, sementara LSM nasional masih banyak yang berpendirian bahwa bekerja sama dengan perusahaan adalah perselingkuhan ideologis. Mendesaknya kebutuhan pemetaan pemangku kepentingan. Tahun 2008 bisa disebut
sebagai tahun “transisi” politik. Semua kalangan sudah secara terbuka menunjukkan persaingan politik. Langkah politik presiden dan wakil presiden yang berbeda partai dan akar dukungan politik juga menunjukkan suasana persaingan yang sangat kentara. Hampir semua momen pengumuman dan pelaksanaan kebijakan selalu terkait dengan investasi politik menjelang PEMILU 2009. Tampaknya pemerintah dan partai politik akan semakin lihai mewacanakan CSR dan keberlanjutan lingkungan sebagai topik debat dan kampanye politik. Isu lain yang mungkin juga akan digunakan sebagai tema kampanye politik adalah soal “nasionalisme sumberdaya alam”. Untuk topik terakhir, kita menyaksikannya lewat debat berkepanjangan mengenai pelaksanaan divestasi Newmont Nusa Tenggara yang sarat dengan kepentingan politik di balik mekanisme bisnis yang sebetulnya sederhana saja. Demikian pula dengan implikasi politik atas menguatnya isu keberlanjutan lingkungan. Dinamika yang terus-menerus merumit, mau tak mau menjadikan perusahaan harus memiliki dokumen peta pemangku kepentingan yang memetakan klasifikasi para pemangku kepentingan, pandangan, sikap, dan perspesi mereka. Lebih jauh daripada itu, perusahaan harus mengetahui pola hubungan yang tepat dengan mereka, melakukan pemetaan pola hubungan antarpemangku kepentingan dan berbagai analisis lainnya yang berhubungan dengan eksistensi dan keberlanjutan bisnis perusahaan. Dipastikan bahwa hanya perusahaan yang sudah memiliki peta pemangku kepentingan yang lengkap dan terusmenerus memantau dinamika para pemangku kepentingannyalah yang relatif akan selamat dari berbagai jebakan dan tekanan politik pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk itu, di tahun 2008, tampaknya perusahaan yang sudah mulai, hendak memulai, dan berkeinginan kuat untuk melembagakan CSR sebagai bagian penting dari strategi dan nilai bisnisnya, akan tampak disibukkan dengan upaya pemetaan para pemangku kepentingannya. Konsekuensi logisnya, akan banyak lembaga konsultan yang menawarkan jasa memetakan pemangku kepentingan itu, entah dengan kualitas seperti apa.
Akhirul Kalam: Mendekati Diluncurkannya ISO 26000 Kalau sepanjang 2007 hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingannya memberikan dua catatan besar: Pertama, pemahaman atas CSR baik itu ditunjukkan dalam diskusi publik serta regulasi lebih banyak menunjukkan kekeliruan atau kesalahpahaman mengenainya dibandingkan menunjukkan ragam artikulasi atas substansi CSR yang sebenarnya. Kedua, dari lima komponen utama CSR—ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan, dan voluntarisme, isu lingkungan dan pemangku kepentingan—banyak ditandai dengan peristiwa yang bersifat negatif. Ini menandakan bahwa teramat sedikit perusahaan dan seluruh pihak yang mengadopsi CSR dalam pengertian terkait pembangunan berkelanjutan. Boleh jadi induk masalahnya terdapat pada lemahnya pemahaman dan ketersediaan petunjuk atau guidance yang bukan saja berdiri sebagai kekuatan pedoman etis dan voluntari yang tak mengikat. Sebuah otoritas tampaknya diperlukan untuk mengakhiri sengkarut debat tentang CSR dengan tegas, serta berargumen kuat bahwa CSR memang terkait dengan keberlanjutan bahkan eksistensi bisnis secara langsung. Sehubungan dengan ini, tampaknya draft ISO 26000 yang mengambil tajuk guidance on social responsibility, bisa banyak membantu meneguhkan pelaksanaan CSR yang substansial. Draft 4.1 ISO 26000 yang dimunculkan di akhir Maret 2008 memberikan definisi tentang kewajiban sosial perusahaan dengan: Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships.

Di dalamnya juga dikemukakan bahwa isu-isu inti dalam tanggung jawab sosial sebuah organisasi meliputi tujuh aspek: tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, konsumen dan pembangunan sosial dan ekonomi untuk masyarakat. Selain itu, dalam menyelenggarakan tanggung jawab sosialnya sebuah organisasi dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut: be accountable for its impacts on society and the
environment; be transparent in its decisions and activities that impact on others; behave ethically at all times; respect and consider the interests of its stakeholders; respect the rule of law; recognize both the importance and the universality of human rights; serta respect relevant international norms where these norms are superior to national law and practice.
Tentunya ISO 26000 bukanlah satu-satunya standar, apalagi menjadi standar suci yang tidak bisa berubah. Setidaknya, draft ini sedikit banyak memberi bantuan berupa panduan bagi perusahaan yang hendak melangkah menyelenggarakan CSR. Pun di sisi lainnya, ia bisa menjadi bahan acuan bagi pemangku kepentingan yang hendak memantau hingar-bingar, hiruk-pikuk, dan berbagai “kenduri” CSR, sehingga tampak jelas beda antara CSR dengan greenwash atau marketing gimmick belaka.


Sekali lagi, urut peristiwa memang bukanlah mata rantai sebab akibat. Namun, ia menyajikan banyak tanda. Tentu, kita tidak akan tetap bermuka masam, jika semua peristiwa menghasilkan suara merdu dengan lagu kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Kita masih harus bekerja keras memisahkan perusahaan yang baik dari yang buruk; memberikan penghargaan kepada yang baik; membantu yang serius memperbaiki diri; dan terus menekan yang berkinerja buruk. Pengukuran kinerja dalam pengertian CSR ala Dahlsrud dan ISO 26000 menjadi kunci penting untuk mendorong CSR yang substansial dan komprehensif. Karenanya, kita tak pernah boleh berkesimpulan bahwa hanya karena berderma bermiliar-miliar dari keuntungannya, sebuah perusahaan kita sebut sebagai telah bertanggung jawab sosial. Bagaimana keuntungan itu dibuat—apakah dengan dampak negatif minimum dan dampak positif maksimum—lebih menentukan tanggung jawabnya.

Rabu, 05 Januari 2011

FRAUD AUDITING


Auditor bertanggungjawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna mendapatkan keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan.

Kata kuncinya adalah keyakinan memadai. Tingkat keyakinan ini jelas subjektif sifatnya namun apakah yang dimaksud dengan Fraud itu pada tingkat minimal tertentu haruslah merupakan kesepakatan bersama. Berikut ini adalah sedikit gambaran tentang Fraud.

Fraud (kecurangan) merupakan penipuan yang disengaja dilakukan yang menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Kecurangan umumnya terjadi karena adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut.

Karakteristik Kecurangan

Dilihat dari pelaku fraud maka secara garis besar kecurangan bisa dikelompokkan menjadi dua jenis :

1. Oleh pihak perusahaan, yaitu :

a. Manajemen untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan (misstatements arising from fraudulent financial reporting).

b. Pegawai untuk keuntungan individu, yaitu salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva (misstatements arising from misappropriation of assets).

2. Oleh pihak di luar perusahaan, yaitu pelanggan, mitra usaha, dan pihak asing yang dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan.

Salah saji yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan

Kecurangan pelaporan keuangan biasanya dilakukan karena dorongan dan ekspektasi terhadap prestasi kerja manajemen. Salah saji yang timbul karena kecurangan terhadap pelaporan keuangan lebih dikenal dengan istilah irregularities (ketidakberesan). Bentuk kecurangan seperti ini seringkali dinamakan kecurangan manajemen (management fraud), misalnya berupa : Manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan terhadap catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang merupakan sumber penyajian laporan keuangan. Kesengajaan dalam salah menyajikan atau sengaja menghilangkan (intentional omissions) suatu transaksi, kejadian, atau informasi penting dari laporan keuangan.

Salah saji yang berupa penyalahgunaan aktiva

Kecurangan jenis ini biasanya disebut kecurangan karyawan (employee fraud). Salah saji yang berasal dari penyalahgunaan aktiva meliputi penggelapan aktiva perusahaan yang mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Penggelapan aktiva umumnya dilakukan oleh karyawan yang menghadapi masalah keuangan dan dilakukan karena melihat adanya peluang kelemahan pada pengendalian internal perusahaan serta pembenaran terhadap tindakan tersebut. Contoh salah saji jenis ini adalah :

  • Penggelapan terhadap penerimaan kas.

  • Pencurian aktiva perusahaan.

  • Mark-up harga

  • Transaksi “tidak resmi”.

Dari penjelasan singkat di atas, hal yang menarik adalah dapat saja diklaim bahwa Fraud dengan sengaja dilakukan demi kepentingan perusahaan. Demi kredibilitas perusahaan pihak manajemen dengan sengaja melakukan katakanlah istilahnya Soft Fraud. Apakah tindakan ini benar? Akan timbul perdebatan yang sangat panjang dan tak berakhir, namun satu yang pasti : semuanya tergantung pada keyakinan yang memadai dari auditor. Jadi ? ( Alison, Internal Audit)

terima kasih kepada : http://www.reindo.co.id/reinfokus/edisi16/fraud.htm

Sabtu, 09 Oktober 2010

Teh Hijau dan Khasiatnya Bagi Tubuh


Siapa tidak pernah minum teh?

Hahahaha...
Walaupun tidak semua orang adalah pecinta teh, tapi saya yakin semua orang di belahan bumi manapun pernah mencicipi minuman jenis ini. Baik dipagi hari sebelum memulai aktivitas, maupun sebagai teman bersantai di sore hari.

Namun siapa yang menyangka bahwa minuman jenis ini sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Baik untuk mempercantik penampilan luar, maupun kesehatan dari dalam tubuh.

Ini bukan sekedar omong kosong, saya mempelajarinya dari orang - orang disekitar saya yang membuktikan bahwa teh benar-benar membawa dampak baik bagi tubuh kita.
Contoh terdekat adalah ibu saya, dia masih terlihat muda di usia yang semakin lanjut dan kondisi tubuhnya juga selalu bugar. Yah mungkin teh bukan faktor utama yang menyebabkan hal itu, terjadi, tetapi bisa saja merupakan faktor pendukung yang menyebabkan kondisinya sangat baik seperti sekarang.

Karena alasan inilah saya tidak ragu-ragu untukmulai mencintai teh sejak dini , teh yang saya konsumsi adalah teh hijau.
Memang,,,ada berbagai macam teh yang dikenal di dunia, tetapi menurut hasil penelitian teh hijaulah yang memiliki khasiat paling tinggi bagi kesehatan tubuh dibandingkan dengan jenis teh yang lain.(Lucy)

Selama ini teh hijau memang dikenal sebagai minuman yang menyehatkan, melindungi jantung dan sebagai antioksidan. Tanpa kita ketahui, ternyata masih banyak manfaat lainnya.
Antara lain adalah:

Mencegah risiko terjadinya penyakit kanker.

Polyphenol yang terdapat dalam teh hijau merupakan antioksidan paling potensial. Di mana dia mencegah penyebaran dan pertumbuhan sel kanker dalam darah. Beberapa penelitian menemukan bahwa orang yang minum teh hijau secara berkala bisa mengurangi risiko kanker payudara, perut, usus, maupun kanker prostat.

Menyejukkan kulit.

Teh ini merupakan antiseptik alami untuk mengatasi gatal dan bengkak-bengkak. Taruh sejumput teh hijau pada kulit yang mengalami radang, terbakar sinar matahari, noda kehitaman maupun di kelopak mata, dan rasakan kesejukannya.

Melindungi kulit.

Pada sebuah percobaan, teh hijau diaplikasikan langsung pada kulit atau dikonsumsi bisa melindungi kulit dari efek buruk sinar matahari penyebab kanker kulit. Itulah sebabnya mengapa Anda melihat banyak produk-produk kecantikan seperti tabir surya atau pelembab yang terbuat dari teh hijau.

Menstabilkan tekanan darah.

Memiliki tekanan darah yang sehat berarti berada di angka 120/80. Menjaganya di angka tersebut memang gampang-gampang susah. Namun mereka yang mengkonsumsi satu gelas teh hijau setiap hari, hampir 50 persennya jarang terkena tekanan darah tinggi dibanding mereka yang tidak pernah meminumnya. Ternyata polyphenols-lah yang berjasa sekali lagi. Mereka mampu menjaga pembuluh darah agar tidak mengecil dan peningkatan tekanan.

Menjaga daya ingat.

Teh hijau ternyata bisa menjaga penurunan fungsi otak. Mereka yang minum dua gelas sehari terhindar dari masalah kognitif dibanding mereka yang jarang meminumnya. Teh ini mengandung antioksidan tinggi yang bisa melawan radikal bebas yang menyerang otak, penyebab penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Tetap terlihat muda.

Semakin sehat arteri, semakin terlihat muda dan sehat Anda yang mengkonsumsinya. Setidaknya10 ons teh hijau yang dikonsumsi setiap hari, bisa mengabsorbsi arteri dari kelebihan lemak dan kolesterol.

Mengurangi berat badan.

Faktor yang terakhir ini tentunya sangat diminati oleh para wanita, coba dilihat wanita mana yang tidak menginginkan bentuk tubuh yang menarik juga ideal. Dan ternyata Minum teh hijau secara teratur juga bisa membantu proses pembakaran kalori dalam tubuh. Tetapi harus diimbangi dengan olah raga yang teratur dan menjaga pola makan yang benar.

Setelah anda membaca artikel diatas, semua terserah kepada anda, apakah akan mengikuti jejak saya untuk mencintai teh hijau?
hahhahaha,,,semua terserah kepada pilihan anda.
Saran saya adalah bila anda mulai mencintai teh hijau, minumlah secara wajar saja, tidak perlu terlalu berlebihan. karena segala sesuatu yang terlalu dipaksakan bagi tubuh, maka dampaknya pasti kurang baik.

-Selamat Mencoba-

Lucy

Selasa, 05 Oktober 2010

A Beautiful Song

''It Might Be You''
Sempat dipopulerkan oleh Stephen bishop dan kini kembali disajikan dengan sentuhan saxophone yang sangat manis oleh Dave Koz dan suara khas milik India Arie, makin membuat lagu ini terdengar lebih romantis.

Tidak perduli siapa yang menyanyikan lagu ini,,, saya sangat mencintai lagu ini....
(Lucy) (00.24)

A Beautiful Lyrics All Of Time
(It Might Be You)


Time, I've been passing time watching trains go by
All of my life
Lying on the sand watching seabirds fly
Wishing there could be someone
Waiting home for me

Something's telling me it might be you
It's telling me it might be you
All of my life

Looking back as lovers go walking past
All of my life
Wondering how they met and what makes it last
If I found the place would I recognize the face

Something's telling me it might be you
It's telling me it might be you
So many quiet walks to take
So many dreams to wake and there's so much love to make

I think we�re gonna need some time
Maybe all we need is time
And it's telling me it might be you
All of my life

I've been saving love songs and lullabies
And there's so much more
No one's ever heard before
Something's telling me it might be you
Yeah, it's telling me it must be you and
I'm feeling it'll just be you
All of my life
It's you, it's you I've been waiting for all of my life
Maybe it's you Maybe it's you I've been waiting for all of my life.

Thanks