CAECILIA

CAECILIA * LUCIA * UTAMI * JOHANNES

Kamis, 06 Januari 2011

CSR di Tahun 2008: Tak Ada Kecenderungan Menyurut


Refleksi
Kendati urut peristiwa bukanlah mata rantai sebab akibat, namun agaknya merugi jika tidak mencoba berefleksi sebentar menarik kerangka logis rentetan kejadian. Bagi mereka yang akrab dengan teori siklus, setiap perubahan, baik dengan langgam perlahan evolusi maupun detak kencang revolusi, dilihat sebagai gerakan melingkar. Semua gejala sebenarnya mengarah pada titik substansi tertentu—yang mungkin bersifat universal. Bagi mereka yang memandang hidup sebagai garis lurus, juga percaya bahwa berbagai bentangan garis lurus beragam peristiwa yang seakan berdiri independen, tetap menuju ke sebuah muara—yang mungkin menjadi satu-satunya pelabuhan dari berbagai gerakan, lompatan, bahkan dentuman. Mari berefleksi sejenak atas pertanyaan tunggal: ke mana CSR 2008 mengarah? Tulisan ini mengajak pembaca untuk mengenakan “kaca mata” Alexander Dahlsrud, lewat artikelnya dengan tajuk “How Corporate Social Responsibility is Defined: an Analysis of 37 Definitions”, (Jurnal Corporate Social Responsibility and Environmental Management, No 15/2008) untuk menjawab pertanyaan ini. Setelah melakukan telaah panjang, Dahlsrud menyatakan bahwa muara dari berbagai debat CSR sebenarnya bisa didefinisikan sebagai kontribusi perusahaan untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan—sebuah proses perubahan yang disengaja untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dahlsrud juga mengidentifikasi 5 komponen pokok dari berbagai definisi CSR yang ada, yaitu: ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan dan voluntarisme. Buat Dahlsrud, habis sudah perdebatan soal definisi CSR. Kalau pun ada, itu cuma masalah artikulasi, bukan substansi. Tidak demikian halnya di Indonesia. Perdebatan definisi dan praktik ideal CSR menjadi wacana hangat di Indonesia. Bahkan ia memasuki ruang kebijakan. Secara eksplisit, isu CSR masuk dalam Undang-Undang Penanaman Modal dan Perseroan Terbatas; pun disinggung secara tegas dalam Rencana Undang Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Namun sayang, perundangan ini lebih menunjukkan ketertarikan pada pewajiban, sanksi, porsi dana, dan keamanan kepentingan bisnis. Tidak tersinggung sama sekali soal makna, nilai, dan cita-cita pembangunan berkelanjutan. Demikian pula dengan reaksi pihak perusahaan. Rata-rata mereka menunjukkan penolakan, dengan alasan sama: masalah dana. Jika pemerintah melihat CSR sebagai peluang memeroleh dana di luar pajak dan kewajiban regulasi lainnya, maka pihak perusahaan seakan berpaduan suara menyatakan bahwa
pewajiban CSR sebagai hanyalah tambahan pengeluaran anggaran.


Kendati begitu, ada satu titik temu yang cukup marak disepakati oleh berbagai kalangan. Topik mengenai reputasi dan alasan keamanan keberlanjutan bisnis menjadi pilihan sikap di tengah-tengah keterbatasan pengetahuan, akan keniscayaan CSR. Berbagai award, iklan reputasi yang mengandalkan testimoni pihak kedua atau ketiga, dan penambahan divisi CSR dalam struktur organisasi perusahaan, tampak menjadi fenomena yang seragam. Pun dengan media yang membuat ruang cukup lebar isu CSR. Hanya saja, secara keseluruhan tampaknya masih “buram” jika menggunakan kacamata Dahlsrud. Keburaman ini terlihat dari ragam isu CSR yang terekam, di mana kebanyakan perusahaan masih menoleransi praktik-praktik bisnis yang “busuk”. Konflik internal dengan isu soal gaji dan PHK tenaga kerja, bisnis transportasi yang mencelakakan konsumennya, soal perebutan hak atas tanah, penggelapan pajak, penyerobotan hutan lindung, dan praktik penggalian sumberdaya alam yang turut menjadi penyebab pokok bencana sosial dan lingkungan, masih terus menjadi peristiwa yang semakin menjadi-jadi di tengah maraknya “kesadaran” akan keharusan menjalankan bisnis secara etis dan penuh tanggung jawab kepada berbagai pemangku kepentingan. Jangankan melakukan stakeholder engagement dengan pemangku kepentingan eksternal, hubungan dengan pemangku kepentingan internal saja masih terus dilanda percekcokan dan terancam “perceraian”. Isu lain yang juga cukup mencolok adalah soal kerusakan lingkungan dan upaya mengelola sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Terdapat wacana menarik, namun hangathangat tahi ayam, mengenai gerakan investasi teknologi bersih. Sempat ada sentakan dengan suara serak dari Dr. Hendro Sangkoyo untuk segera menghentikan karbokrasi, yakni sistem ekonomi dan turunannya dalam jangka panjang yang kelewat bergantung pada pasokan energi fosil. Pun dengan penyelenggaraan COP 13 Desember lalu di Bali, yang gaungnya hanya terhitung bilangan bulan dengan jari sebelah tangan. Kenduri lainnya, UN Global Compact Leaders Summmit pada Juli 2007, MDGs Award Metro TV, CSR Asia Award di Vietnam. Semuanya masih ditempatkan sebagai hentakan suara serak sebentar saja, yang nyaris tak berbekas sesudahnya. Berbagai desakan etis itu sama sekali belum tampak tidak menggerakkan perusahaan di Indonesia untuk memulai prakarsa membuktikan tesis Orlitzky, Schmidt dan Rynes (2003) yang telah membuktikan kaitan positif antara kinerja CSR dengan kinerja finansial. Sekali lagi, tidak ada kesediaan dari perusahaan untuk mendefinisikan wilayah kerja CSR sesuai dengan bisnis intinya, menghitung detail investasi sosial dan lingkungan, dan melakukan analisis hubungan secara saksama antara kinerja CSR dengan tingkat keberlanjutan bisnisnya. Hal ini sangat menonjol terlihat dari bagaimana laporan keberlanjutan perusahaan yang menempatkan posisi “kinerja” CSR nyaris seperti balutan kometik yang menghadirkan kecantikan sesaat, yang segera terhapus oleh “hujan” masalah-masalah sosial dan lingkungan yang masih banyak terjadi. Secara sosial, perhatian dan upaya sungguh-sungguh akan minimalisasi dampak nyaris tidak menjadi pertimbangan pokok investasi dan ekspansi bisnis. Kasus terbaik yang muncul di sepanjang tahun 2007 adalah maraknya bisnis perkebunan sawit mengiringi terus melambungnya harga CPO dunia. Demikian pula dengan terus “memburuknya” citra salah satu BUMN di bidang migas di mata masyarakat luas—baik karena kerusakan infrastruktur milik perusahaan, maupun sebagai implikasi dari tren merosotnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Sementara dari sisi kelompok “penekan” seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM)— khususnya LSM lingkungan, media, dan kelompok masyarakat sipil lainnya, masih mengandalkan nada keras, ancaman pemburukan reputasi lewat tuntutan lembaga pengadilan, mengandalkan gerakan demonstrasi, dan tidak mendukung gerakannya dengan pertimbangan dan “kecakapan ilmiah”. Gerakan mereka nyaris sedikit bisa dipersamakan dengan tekanan politik dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sering digugat kecakapan kompetitifnya dan keabsahan representasinya sebagai wakil rakyat. Secara umum, hubungan antara perusahaan dengan pemangku kepentingan sosial masih menunjukkan pola hubungan permusuhan dan kemesraan sesaat. Tidak ada kesadaran— mungkin karena lemahnya pengetahuan, untuk melakukan engagement, bersama-sama berusaha untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. LSM sering kali mengajukan jalan pintas dengan kalimat “pokoknya moratorium!”. Sebaliknya perusahaan—dan juga pemerintah—sibuk mengajukan argumen pencapaian angka statistik mengenai dampak ekonomi, tanpa pernah membicarakan hal-hal di luar itu. Pola komunikasi ini nyaris menjadi klasik. Nyaris kedua belah pihak tidak ada kesediaan untuk secara saksama dan bersama-sama untuk berupaya melangsungkan perubahan sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik, dan personal, di mana cadangan yang dikelola untuk kebutuhan itu oleh generasi saat ini minimal sama dengan cadangan untuk generasi berikutnya.

Satu hal yang mungkin sedikit menggembirakan adalah maraknya kegiatan voluntarisme sebagai sisi lain dari serangan bencana alam yang bertubi-tubi di sepanjang 2007. Banjir Jakarta sepertinya disepakati dibaca sebagai sebuah business case. Nyaris semua perusahaan, besar maupun kecil, berlomba-lomba melakukan derma kepada korban bencana. Walau agak sedikit miris juga, gegap gempita bala bantuan dari perusahaan ini tak begitu semarak di wilayah banjir lainnya, khususnya di luar Jawa. Lepas dari demikian strategis dan “seksi”nya posisi Jakarta di mana hampir seluruh head office perusahaan besar berada di sana, tampak sangat semarak semangat kemanusiaan di sini. CSR—atau tepatnya kegiatan filantropi—pun semakin menguat.
Kejadian itu juga menginspirasi banyak perusahaan untuk menggabungkan diri dalam sebuah perhimpunan filantropi dengan agenda yang lebih luas dan berkelanjutan. Yang agak mengganjal adalah tidak sedikit perusahaan melaporkan kepada publik bahwa derma kemanusiaan itu sebagai bentuk CSR perusahaan yang utama. Bagaimana mungkin, sebuah industri rokok misalnya, menyatakan bahwa CSR utamanya adalah memberikan bantuan dengan membangun sekian ratus sekolahan mulai dari tingkat dasar sampai dengan menengah di wilayah bencana, sementara ia sendiri tidak bersedia dengan serius berkontribusi pada upaya-upaya minimalisasi dampak industri rokok sebagai bagian dari harmful industries?
Berbagai Kecenderungan Soal debat definisi. Kendati Dahlsrud mencoba mengunci mati perdebatan mengenai CSR, di mana Dahlsrud mematok bahwa CSR sebagai kontribusi perusahaan bagi tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), namun soal definisi ini masih menjadi topik yang hangat diperdebatkan. Subhabrata Bobby Banerjee menulis sebuah artikel dengan nada menggugat: “Corporate Social Responsibility: The Good, the Bad and the Ugly” yang termuat di jurnal Critical Sociology No. 34/2008. Banerjee di situ menegaskan bahwa:
“Wacana tanggung jawab sosial perusahaan dan berbagai wacana terkait inisiatif voluntarisme, corporate citizenship, dan kontribusi perusahaan bagi pembangunan berkelanjutan, kendati wacana ini sering dikemukakan perusahaan sebagai tindakan emansipatoris, namun sebenarnya hanyalah aksi retorik. Retorika ini penting untuk melegitimasi tujuan ekspansi bisnis dan memperlebar jangkauan kekuasaan perusahaan. Berbagai upaya yang sering disebut dengan stakeholder engagement tak lebih
Banyak diyakini bahwa ketundukan kepada regulasi menjadi elemen penting bagi keamanan bisnis mereka. dari sebatas trik dari bagaiamana sekelompok koloni (perusahaan) mengatur, memengaruhi dan menundukkan para pemangku kepentingannya demi tujuan-tujuan keamanan dan keberlanjutan bisnis.” Banerjee juga menyatakan bahwa aksi dan kontribusi perusahaan dalam agenda CSR lebih tepat disebut sebagai “gerakan ideologis” ketimbang sebagai langkah “emansipatori etis”. Tentunya ideologi dimaksud adalah berbagai nilai yang mendukung dan melegitimasikan praktik-praktik kolonialisme. Sedangkan emansipatori etis adalah kesadaran penuh akan keniscayaan argumentasi etis dalam melakukan bisnis demi pembebasan dari kehidupan yang buruk, terbelakang dan merusak. Cara kritis ini jelas memberi angin segar kepada mereka yang membaca langkah ekspansi bisnis dari perusahaan multinasional sebagai sebuah bentuk kolonialisme. Dan mungkin bisa menjadi senjata bagi pelebaran wacana mengenai “nasionalisasi” sumberdaya. Debat mengenai apakah CSR sebagai sebuah kesadaran etis untuk memulai bisnis dengan penuh pertimbangan tentang maksimisasi dampak positif dan minimisasi dampak negatif operasi; ataukah CSR memang hanya sebagai kosmetika untuk menutup wajah buruk perusahaan kemudian menampilkan diri sebagai sosok yang ramah sosial dan lingkungan demi keberlanjutan eksistensi bisnis, rupanya masih akan terus menjadi perdebatan hangat di tahun 2008 ini dan juga tahun-tahun sesudahnya. Pelaksanaan dan Pelaporan CSR. Tren debat klasik di atas mungkin akan terus meningkat dengan hadirnya salah satu pasal UU Perseroan Terbatas dan UU Penanaman Modal tentang pewajiban kepada perusahaan untuk melaksanakan dan melaporkan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Banyak diyakini bahwa ketundukan kepada regulasi menjadi elemen penting bagi keamanan bisnis mereka. Dengan demikian, bisa diramalkan bahwa implementasi dan pelaporan CSR di tahun 2008 tampaknya akan semakin marak. Hanya saja ada catatan penting mengenai pelaksanaan pasal TJSL UU PT. Di perundangan itu disebutkan bahwa mekanisme pelaksanaan dan pelaporan TJSL akan diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). Hingga awal Aprril 2008 ketika tulisan ini dibuat, tidak ada kabar signifikan mengenai penyusunan PP TJSL. Perusahaan yang yang hanya hendak menyelenggarakan CSR sebagai kepatuhan terhadap kedua UU pasti akan mengalami kebingungan dengan standar pelaksanaan dan pelaporan yang tak kunjung hadir. UU ini sempat disinggung oleh Hendarman Soepanji, Jaksa Agung RI ketika mencoba memberikan perspektif hukum atas kasus lumpur lapindo. Jaksa Agung menegaskan bahwa Lapindo bisa dijerat karena tidak melaksanakan TJSL, tidak bertanggung jawab sosial dan lingkungan. Sebaliknya Lapindo berteguh menyatakan dirinya tidak bersalah. Mereka mendasarkan argumentasinya pada pembelahan analisis para ahli geologi mengenai pelaksanaan standar dan prosedur pengeboran serta tafsir politik DPR yang memutuskan luapan lumpur Lapindo sebagai bencana. Sementara si berbagai media, Lapindo menyatakan bahwa ganti rugi yang dilakukannya sebagai bentuk kedermawanannya yang mereka nyatakan sebagai CSR. Persoalannya juga menjadi meluas, tidak lagi terbatas antara Lapindo dengan pemangku kepentingan sosial dan lingkungannya. Namun menjadi isu politik yang ruwet dengan melibatkan Presiden, DPR RI, parpol dan berbagai kekuatan sosial-politik lainnya. Agaknya pisau analisis Banerjee sangat membantu untuk menyikapi secara kritis kasus Lapindo ini. Kalau kelak ada pihak yang bisa memberikan bukti tak terbantah bahwa Lapindo memang bersalah, maka sisi “the bad and the ugly” dari praktik CSR-lah yang sebetulnya ditunjukkan oleh Lapindo. Tidak juga mengherankan kalau banyak pakar CSR yang mencatat luapan lumpur ini dalam sejarah tragedi lingkungan yang mungkin bisa disejajarkan dengan Minamata (Jepang), Abefan (Wales), Bhopal (India), Chernobyl (Rusia), Royal Dutch/Shell (Nigeria), dan Strava (Italia) yang melibatkan banyak nama perusahaan seperti Shiowa Maru, Amoco Cadiz Oil, Exxon Valdez, dan seterusnya. Tahun 2008 ini oleh banyak pihak kerap dibaca sebagai tahun persiapan menjelang Pemilu 2009. Sudah menjadi fakta bahwa kontestan politik akan menggali sumber dana dari pihak manapun dan akan menggunakan berbagai cara. Belum jelasnya batasan wilayah kerja dan
panduan laporan TJSL dipastikan menjadi ”kondisi karet” yang bisa berakibat terpaksanya perusahaan mengeluarkan ”dana CSR” untuk kepentingan politik. Sepertinya, di tahun 2008 dan 2009 kelak pelaksanaan dan pelaporan CSR akan bisa dibedah dengan perspektif analisis kepentingan politik, khususnya kepentingan kelompok status-quo. Sudah terlalu banyak pihak-pihak di pusat maupun daerah yang ”terpesona” dengan kemungkinan perusahaan mengucurkan dana ekstra untuk ”pemangku kepentingan”. Padahal, sebagaimana yang telah diperingatkan oleh David Vogel dalam Market for Virtue (2006), keterlibatan perusahaan dalam politik seharusnya hanya yang bersifat positif, yaitu mendorong kebijakan-kebijakan yang pro-sosial dan pro-lingkungan. Kalau perusahaan mendiamkan saja kebijakan yang buruk, atau malah menyokongnya dengan membiayai status quo, maka perusahaan jelas bersalah. Dalam hal pelaporan, RAPP dan KPC telah mengambil langkah yang strategis, dan dengan sukses keluar dari kondisi ambigu UU PT. Mereka mencoba menerapkan standar Global Reporting Initiative (GRI) yang sangat komprehensif termasuk melengkapinya dengan third party assurance. Terlepas dari soal penggunaan panduan GRI yang tidak utuh, paling tidak ada kesediaan dari sejumlah perusahaan untuk mencari standar yang lebih baik dan komprehensif. Seharusnya mulai tahun 2008 ini dan di tahun-tahun mendatang penggunaan standar GRI menjadi tren sustainability reporting perusahaan. Atau setidaknya, dengan pewajiban melaporkan dampak sosial dan lingkungan serta upaya pengelolaannya, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU PT, maka berbagai bentuk pelaporan CSR juga akan meningkat drastis jumlahnya. Hanya saja, ini juga akan sangat tergantung dari tekanan publik atas perusahaan. Menilik pendirian Sidharta Utama (2007), sebetulnya hanya satu dari lima infrastruktur pelaporan keberlanjutan perusahaan yang menjadi domain perusahaan, yaitu tata kelola perusahaan. Sisanya, berasal dari luar perusahaan, termasuk di antaranya regulasi pemerintah, keberadaan standar dan tekanan publik. Kalau di tahun 2008 kita tidak menyaksikan adanya peningkatan kondisi-kondisi infrastruktur tersebut, maka kita juga tak bisa berharap banyak.
Kecenderungan ini mungkin juga akan melebar kepada perkembangan minat perusahaan yang lebih mendalam untuk mempelajari CSR. Tren forum belajar ini di tahun 2008 berkecenderungan terus meningkat. Bahkan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia sudah mulai membuka program studi CSR. Seiring dengan itu, draft ISO 26000 yang mengambil tajuk tanggung jawab sosial organisasi terus semakin memantapkan diri dan dipastikan bakal menjadi sebuah kekuatan “pemaksa” yang cukup efektif bagi perusahaan untuk menjalankan dan melaporkan CSR secara lebih substansial. Walaupun, harus diakui, karena sifatnya yang komprehensif, maka akan sangat sedikit perusahaan di Indonesia yang akan bisa mengadopsinya di awal-awal peluncurannya di tahun 2009 atau 2010 kelak. Mungkin, yang akan terjadi dalam waktu dekat adalah perusahaan mulai menggunakan ISO 26000 sebagai alat pembelajaran CSR. Kalau tahun 2007 lalu diwarnai juga dengan banyak momen pemberian penghargaan dengan tajuk CSR, kemungkinan di tahun 2008 kecenderungannya akan terus meningkat. BUMN yang dinamika organisasinya banyak ditentukan oleh dan memengaruhi dinamika Mungkin, yang akan terjadi dalam waktu dekat adalah perusahaan mulai menggunakan ISO 26000 sebagai alat pembelajaran CSR. politik nasional, sepertinya akan terus menjadi peserta yang paling serius untuk memenangkan berbagai ajang penghargaan ini. Tidak menutup kemungkinan fenomena ini akan juga mendorong berbagai anak perusahaan dari MNC yang beroperasi di Indonesia untuk mempublikasikan laporan kinerja CSRnya sendiri, tidak lagi hanya sebagai bagian kecil dari sustainability report induk perusahaan di level internasional. Terantung dari apakah berbagai pemberiaan penghargaan itu meningkat mutunya, dan apakah pasar memebrikan respons positif terhadap penghargaan itu, tren ini bisa menyadarkan perusahaan untuk menjadikan pelaporan kinerja CSR sebagai alat akuntabilitas manajemen, bukan lagi sebagai media iklan. Semakin menguatnya isu lingkungan. Seperti telah dikemukakan, kesadaran akan keberlanjutan lingkungan menjadi isu yang mengepung berbagai aktivitas bisnis. Kepungan tidak hanya berasal dari pemerintah dan LSM. Tapi juga media. Terdapat kecenderungan kuat, berbagai media melakukan engagement dengan berbagai LSM lingkungan untuk mengampanyekan dan mengadvokasi isu keberlanjutan lingkungan. Tren pantauan, gerakan opini publik, dan bahkan protes tentang keberlanjutan lingkungan diperkirakan akan semakin menguat di tahun 2008. Masalah pembalakan liar dan alih fungsi lahan hutan serta pemanasan global agaknya akan terus dipergunakan sebagai “tema” serangan terhapa perusahaan. Namun, selain bentuk gerakan tekanan seperti itu, terdapat juga kecenderungan lain berupa engagement antara perusahaan dengan LSM—khususnya LSM internasional seperti WWF, CI dan TNC yang telah memiliki kebijakan dan perangkat organisasional untuk berhubungan dengan perusahaan—untuk membuat program bersama tentang pemeliharaan dan pemulihan lingkungan. Agaknya langkah konstruktif ini belum akan diikuti oleh sebagian besar LSM Indonesia dalam waktu dekat. Hubungan yang adversarial akan terus mewarnai hubungan perusahaan dan LSM, karena memang sebagian besar perusahaan belum akan menjalankan CSRnya dengan sungguh-sungguh, sementara LSM nasional masih banyak yang berpendirian bahwa bekerja sama dengan perusahaan adalah perselingkuhan ideologis. Mendesaknya kebutuhan pemetaan pemangku kepentingan. Tahun 2008 bisa disebut
sebagai tahun “transisi” politik. Semua kalangan sudah secara terbuka menunjukkan persaingan politik. Langkah politik presiden dan wakil presiden yang berbeda partai dan akar dukungan politik juga menunjukkan suasana persaingan yang sangat kentara. Hampir semua momen pengumuman dan pelaksanaan kebijakan selalu terkait dengan investasi politik menjelang PEMILU 2009. Tampaknya pemerintah dan partai politik akan semakin lihai mewacanakan CSR dan keberlanjutan lingkungan sebagai topik debat dan kampanye politik. Isu lain yang mungkin juga akan digunakan sebagai tema kampanye politik adalah soal “nasionalisme sumberdaya alam”. Untuk topik terakhir, kita menyaksikannya lewat debat berkepanjangan mengenai pelaksanaan divestasi Newmont Nusa Tenggara yang sarat dengan kepentingan politik di balik mekanisme bisnis yang sebetulnya sederhana saja. Demikian pula dengan implikasi politik atas menguatnya isu keberlanjutan lingkungan. Dinamika yang terus-menerus merumit, mau tak mau menjadikan perusahaan harus memiliki dokumen peta pemangku kepentingan yang memetakan klasifikasi para pemangku kepentingan, pandangan, sikap, dan perspesi mereka. Lebih jauh daripada itu, perusahaan harus mengetahui pola hubungan yang tepat dengan mereka, melakukan pemetaan pola hubungan antarpemangku kepentingan dan berbagai analisis lainnya yang berhubungan dengan eksistensi dan keberlanjutan bisnis perusahaan. Dipastikan bahwa hanya perusahaan yang sudah memiliki peta pemangku kepentingan yang lengkap dan terusmenerus memantau dinamika para pemangku kepentingannyalah yang relatif akan selamat dari berbagai jebakan dan tekanan politik pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk itu, di tahun 2008, tampaknya perusahaan yang sudah mulai, hendak memulai, dan berkeinginan kuat untuk melembagakan CSR sebagai bagian penting dari strategi dan nilai bisnisnya, akan tampak disibukkan dengan upaya pemetaan para pemangku kepentingannya. Konsekuensi logisnya, akan banyak lembaga konsultan yang menawarkan jasa memetakan pemangku kepentingan itu, entah dengan kualitas seperti apa.
Akhirul Kalam: Mendekati Diluncurkannya ISO 26000 Kalau sepanjang 2007 hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingannya memberikan dua catatan besar: Pertama, pemahaman atas CSR baik itu ditunjukkan dalam diskusi publik serta regulasi lebih banyak menunjukkan kekeliruan atau kesalahpahaman mengenainya dibandingkan menunjukkan ragam artikulasi atas substansi CSR yang sebenarnya. Kedua, dari lima komponen utama CSR—ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan, dan voluntarisme, isu lingkungan dan pemangku kepentingan—banyak ditandai dengan peristiwa yang bersifat negatif. Ini menandakan bahwa teramat sedikit perusahaan dan seluruh pihak yang mengadopsi CSR dalam pengertian terkait pembangunan berkelanjutan. Boleh jadi induk masalahnya terdapat pada lemahnya pemahaman dan ketersediaan petunjuk atau guidance yang bukan saja berdiri sebagai kekuatan pedoman etis dan voluntari yang tak mengikat. Sebuah otoritas tampaknya diperlukan untuk mengakhiri sengkarut debat tentang CSR dengan tegas, serta berargumen kuat bahwa CSR memang terkait dengan keberlanjutan bahkan eksistensi bisnis secara langsung. Sehubungan dengan ini, tampaknya draft ISO 26000 yang mengambil tajuk guidance on social responsibility, bisa banyak membantu meneguhkan pelaksanaan CSR yang substansial. Draft 4.1 ISO 26000 yang dimunculkan di akhir Maret 2008 memberikan definisi tentang kewajiban sosial perusahaan dengan: Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships.

Di dalamnya juga dikemukakan bahwa isu-isu inti dalam tanggung jawab sosial sebuah organisasi meliputi tujuh aspek: tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, konsumen dan pembangunan sosial dan ekonomi untuk masyarakat. Selain itu, dalam menyelenggarakan tanggung jawab sosialnya sebuah organisasi dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut: be accountable for its impacts on society and the
environment; be transparent in its decisions and activities that impact on others; behave ethically at all times; respect and consider the interests of its stakeholders; respect the rule of law; recognize both the importance and the universality of human rights; serta respect relevant international norms where these norms are superior to national law and practice.
Tentunya ISO 26000 bukanlah satu-satunya standar, apalagi menjadi standar suci yang tidak bisa berubah. Setidaknya, draft ini sedikit banyak memberi bantuan berupa panduan bagi perusahaan yang hendak melangkah menyelenggarakan CSR. Pun di sisi lainnya, ia bisa menjadi bahan acuan bagi pemangku kepentingan yang hendak memantau hingar-bingar, hiruk-pikuk, dan berbagai “kenduri” CSR, sehingga tampak jelas beda antara CSR dengan greenwash atau marketing gimmick belaka.


Sekali lagi, urut peristiwa memang bukanlah mata rantai sebab akibat. Namun, ia menyajikan banyak tanda. Tentu, kita tidak akan tetap bermuka masam, jika semua peristiwa menghasilkan suara merdu dengan lagu kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Kita masih harus bekerja keras memisahkan perusahaan yang baik dari yang buruk; memberikan penghargaan kepada yang baik; membantu yang serius memperbaiki diri; dan terus menekan yang berkinerja buruk. Pengukuran kinerja dalam pengertian CSR ala Dahlsrud dan ISO 26000 menjadi kunci penting untuk mendorong CSR yang substansial dan komprehensif. Karenanya, kita tak pernah boleh berkesimpulan bahwa hanya karena berderma bermiliar-miliar dari keuntungannya, sebuah perusahaan kita sebut sebagai telah bertanggung jawab sosial. Bagaimana keuntungan itu dibuat—apakah dengan dampak negatif minimum dan dampak positif maksimum—lebih menentukan tanggung jawabnya.