Sistem Pengendalian Manajemen, Inovasi Produk dan Kinerja
Semua organisasi yang beroperasi secara pribadi atau sektor publik selalu mempunyai berbagai tujuan dan dalam mencapai tujuan itu perlu dibuat suatu perencanaan. Secara sederhana perencanaan dapat berupa apa, bagaimana dan kapan sesuatu dikerjakan itu apa sesuai dengan rencana. Proses perencanaan dan pengendalian adalah sesuatu tugas yang sangat penting yang dilakukan oleh manager dalam organisasi. Menurut Chatered Institute of Management Accounting (1994) secara integrar manajemen dapat difokuskan pada identifikasi, presentasi dan interprestasi informasi yang dapat digunakan untuk: Formulating strategy, Planning and controlling activities, Decision Making, Optimizing the use of resources, Disclosure to shareholders and other external to the entity, Disclosure to employee, Safe guarding assets. Sistem pengendalian organisasi digunakan untuk memberi motivasi anggota organisasi agar bertindak dan dapat membuat keputusan secara konsisten dengan tujuan organisasi (Leslie Kren, 1997). Dua konsep yang mendominasi penelitian akuntansi dalam pengendalian organisasi adalah teori perilaku dan teori agensi. Penelitian teori perilaku karyawan menggunakan rerangka dengan menyesuaikan pada perilaku organisasi dan psychology (Parker at al. 1989; Welsch et al, 1988 dalam Leslie Kren, 1997). Penelitian tentang akuntansi keprilakuan (behavior accounting) sebelumnya hanya menguji hubungan karekteristik sistem pengendalian dan beberapa variabel (misalnya prestasi kerja atau perilaku disfungsional ).
Penelitian akuntansi keprilakuan telah berkembang dengan cepat, dan itu ditandai dengan berkembangnya model kontinjensi organisasi pada perilaku organisasi dan perilaku individu (Fama, 1980 dalam Leslie Kren, 1997). Dalam kenyataannya Copley (1973) dalam J.G. Fisher (1998), menyatakan bahwa pengendalian merupakan hal yang utama pada ilmu manajemen. Perlunya prinsip operasional pada sistem pengendalian manajemen memberikan implikasi bahwa sistem pengendalian yang terbaik dapat memaksimalkan efektivitas manajemen dan merupakan bagian dari kontinjensi.
Menurut Gaspersz (2002) inovasi mengindentifikasi kebutuhan pelanggan masa kini dan masa mendatang serta mengembangkan solusi baru untuk kebutuhan pelanggan. Misalnya, solusi yang dilakukan adalah meluncurkan produk baru, menambah features baru produk yang telah ada, memberikan solusi yang unik, mempercepat penyerahan produk ke pasar dan lain-lain. Proses inovasi dapat dilakukan melalui riset pasar untuk mengindentifikasi ukuran pasar dan preferensi atau kebutuhan pelanggan secara spesifik, sehingga perusahaan mampu menciptakan dan menawarkan produk sesuai kebutuhan pelanggan dan pasar.
Sedangkan menurut Girona (2003) inovasi produk dipahami sebagai perspektif output dan kebutuhan yang didefinisikan sebagai pengembangan dan peluncuran produk yang baru dan beda dari produk yang sudah ada. Pengukuran dari inovasi produk menggunakan Bisbe (2002) dan Bisbe dan Outley yang digambarkan dari instrument yang digunakan Capon et. Al (1992), Thomson dan Abernethy (1998) dan Scoot dan Tiesen (1999)
Kinerja perusahaan (KP) adalah kinerja perusahaan secara keseluruhan (overall) sehingga dihasilkan ukuran kinerja yang objektif. Penelitian terdahulu Seperti (Gupta & Govindarajan, 1984; Venkattramen & Ramajunjam, 1986; Kaplan & Norton, 1996; Chengall & Langfield–Smith, 1998, Otley, 1999), konstruk kinerja didefinisikan sebagai derajat tingkat tujuan yang dicapai pada semua dimensi, yang meliputi aspek financial dan non financial. Pengukurannya dengan menggunakan instrumen self rating yang dibangun untuk mengevaluasi efektivitas strategi unit bisnis. (Govindarajan, 1988, Chong, &Chong, 1997, Chenhall & Langfield Smith, 1988) yang telah digunakan. Instrumen yang diajukan oleh Bisbe dan Otley mencakup delapan pertanyaan yang berhubungan tentang financial (pertumbuhan penjualan, ROI, rasio profit dan penjualan dan Perpektif konsumen (Customer satisfaction, Customer retention, Customer Acquisition dan peningkatan pangsa pasar).
Inovasi, sistem anggaran dan kinerja
Anggaran adalah suatu pernyataan formal yang dibuat oleh manajemen tentang rencana-rencana yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam suatu periode tertentu, yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan selama periode tersebut (Hanson, 1966) Schiff dan Lewin (1970), mengemukakan anggaran yang telah disusun mempunyai peranan. Pertama, anggaran berperan sebagai perencanaan, yaitu bahwa anggaran tersebut berisi ringkasan rencana-rencana keuangan organisasi di masa yang akan datang, kedua, anggaran berperan sebagai kriteria kinerja, yaitu anggaran dipakai sebagai sistem pengendalian untuk mengukur kinerja manajerial. Oleh karena itu manajer membutuhkan estimasi yang dapat dipercaya terhadap kondisi perusahaan di masa mendatang. Manajer puncak perlu melibatkan berbagai pihak internal organisasi dalam membuat suatu keputusan apabila dirasakan ada persepsi yang berbeda dalam menilai ketidakpastian, apalagi dalam persaingan bisnis yang semakin ketat memerlukan keputusan yang cepat dan akurat (Kirby et al., 1991).
Fungsi anggaran, sebagai alat pengendalian dalam arti yang lebih luas, mencakup kegiatan pengaturan orang-orang dalam organisasi (Hanson, 1966). Proses penyusunan anggaran, merupakan kegiatan yang penting dan kompleks, karena kemungkinan terjadi dampak fungsional atau disfungsional sikap dan perilaku anggota organisasi yang ditimbulkannya (Milani, 1975). Untuk mencegah dampak disfungsional anggaran, Argyris (1952) menyarankan perlunya melibatkan manajemen pada level yang lebih rendah dalam proses penyusunannya. Para bawahan yang merasa aspirasinya dihargai dan mempunyai pengaruh pada proses penyusunan anggaran akan lebih mempunyai tanggung jawab dan konsekuensi moral untuk meningkatkan kinerja, sesuai dengan yang ditargetkan dalam anggaran.
Brownell (1982b), Brownell dan McInnes (1986) dan Indriantoro (1993), menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara anggaran partisipatif dengan kinerja manajerial. Tetapi, hasil penelitian Milani (1975) dan Brownell dan Hirst (1986) menyatakan hubungan yang tidak signifikan, bahkan Stedry (1960) dan Bryan dan Locke (1967) menemukan hubungan yang negatif.
Penelitian yang menguji partisipasi penetapan standar dan kinerja dilakukan oleh Michael D. Shield et al (2000). Dengan menggunakan instrumen Mahoney (1963) yang telah dimodifikasi menjadi 3 instrumen, menemukan bukti hubungan positif antara partisipasi penetapan standar dan prestasi kerja. Suatu anggaran yang disusun secara partisipatif diharapkan kinerja para manajer akan meningkat. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa ketika suatu tujuan atau standar yang dirancang secara partisipatif disetujui, maka karyawan akan bersungguh-sungguh dalam tujuan atau standar yang ditetapkan, dan karyawan juga memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk mencapainya karena ikut serta terlibat dalam penyusunannya (Milani, 1975). Kesungguhan dalam mencapai tujuan organisasi oleh para bawahan akan meningkatkan efektifitas organisasi, karena konflik potensial antara tujuan individu dengan tujuan organisasi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan (Rahayu, 1997).
Anggaran partisipatif terutama dilakukan oleh manajer tingkat menengah yang memegang pusat-pusat pertanggungjawaban dengan menekankan pada keikutsertaan manajer setiap pusat pertanggungjawaban dalam proses penyusunan dan penentuan sasaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan dilibatkannya manajer dalam penyusunan anggaran, akan menambah informasi bagi atasan mengenai lingkungan yang sedang dan yang akan dihadapi serta membantu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan anggaran (Siegel dan Marconi, 1989). Mereka juga berpendapat, dengan terlibatnya manajer dalam penyusunan anggaran, akan menimbulkan inisiatif bagi mereka untuk menyumbangkan ide dan informasi, meningkatkan kebersamaan dan merasa memiliki, sehingga kerjasama diantara anggota dalam mencapai tujuan juga ikut meningkat.
Partisipasi bawahan dalam penetapan tujuan, standar, atau anggaran adalah salah satu dari topik yang paling banyak diteliti dalam manajemen dan akuntansi (Locke & Latham, 1990; Shields & Shields, 1998 dalam Michael D Shields et al. 2000). Hal itu dapat digunakan oleh atasan dan bawahan untuk menentukan tingkat atau keketatan standar dan penghargaan untuk kinerja dibandingkan standar.
Inovasi, Balance Scorecard (BSC) : Perpektif Customer, Kinerja
Balanced Scorecard adalah suatu pelaporan informasi yang dapat membantu manajemen untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Balanced Scorecard merupakan suatu metode penilaian dengan empat perspektif pengukuran yaitu customer, perspektif proses bisnis internal, perspektif pertumbuhan dan pembelajaran yang berasal dari perwujudan strategi organisasi ke dalam tujuan dan ukuran.
Robert S Kaplan dari Harvard Business School dan David C. Norton, President of Renaissance Solution, Inc, mencoba melakukan pendekatan mengukur kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan empat aspek atau perspektif yaitu : perspektif keuangan, perspektif customer, proses bisnis internal, dan proses belajar dan berkembang. Keempat perspektif tersebut merupakan uraian dan upaya penerjemahan visi dan strategi organisasi dalam terminologi operasional, dapat mengkomunikasikan dan mengaitkan tujuan strategik dan pengukurannya, dapat merencanakan, menetapkan target dan menyelaraskan inisiatif strategik juga dengan Balanced scorecard dapat meningkatkan umpan balik strategik dan pembelajaran.
Perpektif Customer,kinerja ini dianggap penting mengingat ada keterkaitan antara perspektif pelanggan dengan kepuasan pelanggan. Dalam bisnis konvensional pertarungan mempertahankan para pelanggan lama dan merebut para pelanggan baru merupakan suatu proses yang wajar. Sebelum tolok ukur diterapkan, Kaplan dan Norton (1996) menyarankan agar perusahaan menetapkan dan menentukan terlebih dahulu segmen pasar yang akan menjadi target/sasaran serta mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan para calon pelanggan yang berada dalam segmen tersebut sehingga tolok ukur dapat lebih terfokus. Perbaikan orientasi nonfinancial dalam bentuk kepuasan pelanggan diukur dengan melihat ekspektasi hasil peningkatan pendapatan (Fornell 1992; Hauser,et. al, 1994). Beberapa klaim dari garansi dapat menurun bahan baku dan tenaga kerja untuk memperbaik produk yang ada dan biaya produksi rendah dapat digunakan untuk biaya lanjutan dalam meningkatkan profit margin atau dapat menurun harga dan meningkatkan penjualan (Shetty, 1988). Meningkatnya kepuasan pelanggan berimplikasi pada peningkatan loyalitas pelanggan, menurunkan elastisitas harga serta meningkatkan pendapatan yang pontensial (Fornell, 1992; Hauser et al. 1994). Penelitian yang menemukan hubungan positif mengenai kepuasan pelanggan dengan kinerja keuangan adalah Nagar dan Rajan (2001), Banker dan Reley (1999) dan Ittner dan Lareker (1998a). Sedangkan penelitian mengenai pengukuran kinerja customer sebagai variabel moderating antara inovasi dengan kinerja belum banyak bukti yang ditemukan, hanya rekomendasi Simons (1991,1995) yang menganjurkan penggunaan balance scorecard untuk digunakan sebagai sistem pengendalian manajemen selain anggaran.
ref : www.akuntansiku.com
Semua organisasi yang beroperasi secara pribadi atau sektor publik selalu mempunyai berbagai tujuan dan dalam mencapai tujuan itu perlu dibuat suatu perencanaan. Secara sederhana perencanaan dapat berupa apa, bagaimana dan kapan sesuatu dikerjakan itu apa sesuai dengan rencana. Proses perencanaan dan pengendalian adalah sesuatu tugas yang sangat penting yang dilakukan oleh manager dalam organisasi. Menurut Chatered Institute of Management Accounting (1994) secara integrar manajemen dapat difokuskan pada identifikasi, presentasi dan interprestasi informasi yang dapat digunakan untuk: Formulating strategy, Planning and controlling activities, Decision Making, Optimizing the use of resources, Disclosure to shareholders and other external to the entity, Disclosure to employee, Safe guarding assets. Sistem pengendalian organisasi digunakan untuk memberi motivasi anggota organisasi agar bertindak dan dapat membuat keputusan secara konsisten dengan tujuan organisasi (Leslie Kren, 1997). Dua konsep yang mendominasi penelitian akuntansi dalam pengendalian organisasi adalah teori perilaku dan teori agensi. Penelitian teori perilaku karyawan menggunakan rerangka dengan menyesuaikan pada perilaku organisasi dan psychology (Parker at al. 1989; Welsch et al, 1988 dalam Leslie Kren, 1997). Penelitian tentang akuntansi keprilakuan (behavior accounting) sebelumnya hanya menguji hubungan karekteristik sistem pengendalian dan beberapa variabel (misalnya prestasi kerja atau perilaku disfungsional ).
Penelitian akuntansi keprilakuan telah berkembang dengan cepat, dan itu ditandai dengan berkembangnya model kontinjensi organisasi pada perilaku organisasi dan perilaku individu (Fama, 1980 dalam Leslie Kren, 1997). Dalam kenyataannya Copley (1973) dalam J.G. Fisher (1998), menyatakan bahwa pengendalian merupakan hal yang utama pada ilmu manajemen. Perlunya prinsip operasional pada sistem pengendalian manajemen memberikan implikasi bahwa sistem pengendalian yang terbaik dapat memaksimalkan efektivitas manajemen dan merupakan bagian dari kontinjensi.
Menurut Gaspersz (2002) inovasi mengindentifikasi kebutuhan pelanggan masa kini dan masa mendatang serta mengembangkan solusi baru untuk kebutuhan pelanggan. Misalnya, solusi yang dilakukan adalah meluncurkan produk baru, menambah features baru produk yang telah ada, memberikan solusi yang unik, mempercepat penyerahan produk ke pasar dan lain-lain. Proses inovasi dapat dilakukan melalui riset pasar untuk mengindentifikasi ukuran pasar dan preferensi atau kebutuhan pelanggan secara spesifik, sehingga perusahaan mampu menciptakan dan menawarkan produk sesuai kebutuhan pelanggan dan pasar.
Sedangkan menurut Girona (2003) inovasi produk dipahami sebagai perspektif output dan kebutuhan yang didefinisikan sebagai pengembangan dan peluncuran produk yang baru dan beda dari produk yang sudah ada. Pengukuran dari inovasi produk menggunakan Bisbe (2002) dan Bisbe dan Outley yang digambarkan dari instrument yang digunakan Capon et. Al (1992), Thomson dan Abernethy (1998) dan Scoot dan Tiesen (1999)
Kinerja perusahaan (KP) adalah kinerja perusahaan secara keseluruhan (overall) sehingga dihasilkan ukuran kinerja yang objektif. Penelitian terdahulu Seperti (Gupta & Govindarajan, 1984; Venkattramen & Ramajunjam, 1986; Kaplan & Norton, 1996; Chengall & Langfield–Smith, 1998, Otley, 1999), konstruk kinerja didefinisikan sebagai derajat tingkat tujuan yang dicapai pada semua dimensi, yang meliputi aspek financial dan non financial. Pengukurannya dengan menggunakan instrumen self rating yang dibangun untuk mengevaluasi efektivitas strategi unit bisnis. (Govindarajan, 1988, Chong, &Chong, 1997, Chenhall & Langfield Smith, 1988) yang telah digunakan. Instrumen yang diajukan oleh Bisbe dan Otley mencakup delapan pertanyaan yang berhubungan tentang financial (pertumbuhan penjualan, ROI, rasio profit dan penjualan dan Perpektif konsumen (Customer satisfaction, Customer retention, Customer Acquisition dan peningkatan pangsa pasar).
Inovasi, sistem anggaran dan kinerja
Anggaran adalah suatu pernyataan formal yang dibuat oleh manajemen tentang rencana-rencana yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam suatu periode tertentu, yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan selama periode tersebut (Hanson, 1966) Schiff dan Lewin (1970), mengemukakan anggaran yang telah disusun mempunyai peranan. Pertama, anggaran berperan sebagai perencanaan, yaitu bahwa anggaran tersebut berisi ringkasan rencana-rencana keuangan organisasi di masa yang akan datang, kedua, anggaran berperan sebagai kriteria kinerja, yaitu anggaran dipakai sebagai sistem pengendalian untuk mengukur kinerja manajerial. Oleh karena itu manajer membutuhkan estimasi yang dapat dipercaya terhadap kondisi perusahaan di masa mendatang. Manajer puncak perlu melibatkan berbagai pihak internal organisasi dalam membuat suatu keputusan apabila dirasakan ada persepsi yang berbeda dalam menilai ketidakpastian, apalagi dalam persaingan bisnis yang semakin ketat memerlukan keputusan yang cepat dan akurat (Kirby et al., 1991).
Fungsi anggaran, sebagai alat pengendalian dalam arti yang lebih luas, mencakup kegiatan pengaturan orang-orang dalam organisasi (Hanson, 1966). Proses penyusunan anggaran, merupakan kegiatan yang penting dan kompleks, karena kemungkinan terjadi dampak fungsional atau disfungsional sikap dan perilaku anggota organisasi yang ditimbulkannya (Milani, 1975). Untuk mencegah dampak disfungsional anggaran, Argyris (1952) menyarankan perlunya melibatkan manajemen pada level yang lebih rendah dalam proses penyusunannya. Para bawahan yang merasa aspirasinya dihargai dan mempunyai pengaruh pada proses penyusunan anggaran akan lebih mempunyai tanggung jawab dan konsekuensi moral untuk meningkatkan kinerja, sesuai dengan yang ditargetkan dalam anggaran.
Brownell (1982b), Brownell dan McInnes (1986) dan Indriantoro (1993), menemukan hubungan yang positif dan signifikan antara anggaran partisipatif dengan kinerja manajerial. Tetapi, hasil penelitian Milani (1975) dan Brownell dan Hirst (1986) menyatakan hubungan yang tidak signifikan, bahkan Stedry (1960) dan Bryan dan Locke (1967) menemukan hubungan yang negatif.
Penelitian yang menguji partisipasi penetapan standar dan kinerja dilakukan oleh Michael D. Shield et al (2000). Dengan menggunakan instrumen Mahoney (1963) yang telah dimodifikasi menjadi 3 instrumen, menemukan bukti hubungan positif antara partisipasi penetapan standar dan prestasi kerja. Suatu anggaran yang disusun secara partisipatif diharapkan kinerja para manajer akan meningkat. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa ketika suatu tujuan atau standar yang dirancang secara partisipatif disetujui, maka karyawan akan bersungguh-sungguh dalam tujuan atau standar yang ditetapkan, dan karyawan juga memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk mencapainya karena ikut serta terlibat dalam penyusunannya (Milani, 1975). Kesungguhan dalam mencapai tujuan organisasi oleh para bawahan akan meningkatkan efektifitas organisasi, karena konflik potensial antara tujuan individu dengan tujuan organisasi dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan (Rahayu, 1997).
Anggaran partisipatif terutama dilakukan oleh manajer tingkat menengah yang memegang pusat-pusat pertanggungjawaban dengan menekankan pada keikutsertaan manajer setiap pusat pertanggungjawaban dalam proses penyusunan dan penentuan sasaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan dilibatkannya manajer dalam penyusunan anggaran, akan menambah informasi bagi atasan mengenai lingkungan yang sedang dan yang akan dihadapi serta membantu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan anggaran (Siegel dan Marconi, 1989). Mereka juga berpendapat, dengan terlibatnya manajer dalam penyusunan anggaran, akan menimbulkan inisiatif bagi mereka untuk menyumbangkan ide dan informasi, meningkatkan kebersamaan dan merasa memiliki, sehingga kerjasama diantara anggota dalam mencapai tujuan juga ikut meningkat.
Partisipasi bawahan dalam penetapan tujuan, standar, atau anggaran adalah salah satu dari topik yang paling banyak diteliti dalam manajemen dan akuntansi (Locke & Latham, 1990; Shields & Shields, 1998 dalam Michael D Shields et al. 2000). Hal itu dapat digunakan oleh atasan dan bawahan untuk menentukan tingkat atau keketatan standar dan penghargaan untuk kinerja dibandingkan standar.
Inovasi, Balance Scorecard (BSC) : Perpektif Customer, Kinerja
Balanced Scorecard adalah suatu pelaporan informasi yang dapat membantu manajemen untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Balanced Scorecard merupakan suatu metode penilaian dengan empat perspektif pengukuran yaitu customer, perspektif proses bisnis internal, perspektif pertumbuhan dan pembelajaran yang berasal dari perwujudan strategi organisasi ke dalam tujuan dan ukuran.
Robert S Kaplan dari Harvard Business School dan David C. Norton, President of Renaissance Solution, Inc, mencoba melakukan pendekatan mengukur kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan empat aspek atau perspektif yaitu : perspektif keuangan, perspektif customer, proses bisnis internal, dan proses belajar dan berkembang. Keempat perspektif tersebut merupakan uraian dan upaya penerjemahan visi dan strategi organisasi dalam terminologi operasional, dapat mengkomunikasikan dan mengaitkan tujuan strategik dan pengukurannya, dapat merencanakan, menetapkan target dan menyelaraskan inisiatif strategik juga dengan Balanced scorecard dapat meningkatkan umpan balik strategik dan pembelajaran.
Perpektif Customer,kinerja ini dianggap penting mengingat ada keterkaitan antara perspektif pelanggan dengan kepuasan pelanggan. Dalam bisnis konvensional pertarungan mempertahankan para pelanggan lama dan merebut para pelanggan baru merupakan suatu proses yang wajar. Sebelum tolok ukur diterapkan, Kaplan dan Norton (1996) menyarankan agar perusahaan menetapkan dan menentukan terlebih dahulu segmen pasar yang akan menjadi target/sasaran serta mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan para calon pelanggan yang berada dalam segmen tersebut sehingga tolok ukur dapat lebih terfokus. Perbaikan orientasi nonfinancial dalam bentuk kepuasan pelanggan diukur dengan melihat ekspektasi hasil peningkatan pendapatan (Fornell 1992; Hauser,et. al, 1994). Beberapa klaim dari garansi dapat menurun bahan baku dan tenaga kerja untuk memperbaik produk yang ada dan biaya produksi rendah dapat digunakan untuk biaya lanjutan dalam meningkatkan profit margin atau dapat menurun harga dan meningkatkan penjualan (Shetty, 1988). Meningkatnya kepuasan pelanggan berimplikasi pada peningkatan loyalitas pelanggan, menurunkan elastisitas harga serta meningkatkan pendapatan yang pontensial (Fornell, 1992; Hauser et al. 1994). Penelitian yang menemukan hubungan positif mengenai kepuasan pelanggan dengan kinerja keuangan adalah Nagar dan Rajan (2001), Banker dan Reley (1999) dan Ittner dan Lareker (1998a). Sedangkan penelitian mengenai pengukuran kinerja customer sebagai variabel moderating antara inovasi dengan kinerja belum banyak bukti yang ditemukan, hanya rekomendasi Simons (1991,1995) yang menganjurkan penggunaan balance scorecard untuk digunakan sebagai sistem pengendalian manajemen selain anggaran.
ref : www.akuntansiku.com